Rabu, 31 Oktober 2012

Makalah Sejarah Pendidikan Islam


oleh :
MUSYRIF KAMAL J. HAQ
 MAHASISWA UIN MALIKI MALANG

JUDUL :
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN 
BELANDA DAN JEPANG


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pendahuluan
1.         Latar Belakang Masalah
Meneliti sejarah bangsa Indonesia tidak akan lepas dari umat islam, baik dari perjuangan melawan penjajah maupun dalam lapangan pendidikan. Melihat kenyataan betapa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam mencapai keberhasilan dengan berjuang secara tulus ikhlas mengabdikan diri untuk kepentingan agamanya disamping mengadakan perlawanan militer.
Perlu diketahui bahwa sejarah pendidikan islam di Indonesia mencakup fakta-fakta atau kejadian –kejadian yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam di Indonesia, baik formal maupun non formal. Yang dikaji melalui pendekatan metode oleh sebab itu pada setiap disiplin ilmu jelas membutuhkan pendekatan metode yang bisa memberikan motivasi dan mengaktualisasikan serta memfungsikan semua kemampuan kejiwaan yang material, naluriah, dengan ditunjang kemampuan jasmaniah, sehingga benar-benar akan mendapatkan apa yang telah diharapkan.

2.      Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda?
  2. Bagaimana pendidikan islam pada masa penjajahan Jepang?

3.      Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah kami, kami mempunyai beberapa tujuan antara lain sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui lebih dalam tentang sejarah pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia
b.      Untuk melengakapi tugas mata kuliah “Sejarah Pendidikan Islam”.
c.       berbagi pengetahuan dan semoga bisa menjadi hal yang bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah khususnya .
     
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda           
Pada mulanya kedatangan  orang-orang asing Belanda ke Indonesia adalah untuk menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Indonesia. Sambil berdagang, Belanda berupaya menancapkan pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia. Lambat laun Belanda berhasil memonopoli perdagangan dengan bangsa Indonesia, namun satu demi satu Belanda berhasil menundukkan penguasa-penguasa local, kemudian merampas daerah-daerah tersebut kedalam kekuasaannya, selanjutnya berlangsung system penjajahan, disamping sebagai bangsa penjajah, pada umumnya mereka menganut fikiran Achivelli yang menyatakan antara Lain :
1.      Agama sangat diperlukan  untuk pemerintahan penjajah
2.      Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat
3.      Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama bersangkutan harus dibawa untuk memcah belah dan mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah
4.      Janji dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan
5.      Tujuan dapat menghalalkan segala cara[1]

Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu jean Pieter Zoan Coen menduduki Jakarta [2] kemudian Belanda satu demi satu memperluas jangkauan wilayah jajahannya dengan menjatuhkan penguasa-penguasa di daerah-daerah. Misalnya mereka berhasil memecah belah kerajaan mataram – setelah wafatnya sultan agung- Belanda lalu memberlakukan kolonialisme atas seluruh kekuasaan mataram. Di daerah-daerah lainpun terjadi hal yang sama yakni penguasaan daerah oleh Belanda, disistem yang di bentuk Belanda ini penguasa suatu daerah (sultan/raja) masih diakui, tetapi ia hanya menjadi figur pemimpin yang tidak punya kekuasaan apa-apa dengan demikian maka semua system baik politik, ekonomi, sosial budaya sudah berada ditangan penjajah. Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama, sesuai dengan  prinsip kolonialisme, westernisasi, dan kristenisasi.
Sejak zaman VOC kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak aktroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagai berikut :” badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang, dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.
Ketika van den boss menjadi gubernur jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap diperlukan sebagai sekolah pemerintah, sementera itu gubernur jenderal van den cappelen pada tahun 1819 mengabil inisiatif merancang berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintahan Belanda. Sekolah ini bertujuan untuk menandingi pendidikan islam yang ada di pondok-pondok pesantren, masjid, musholla dan lain sebagainya yang dianggap tidak membantu pemerintahan Belanda. Para santri masih dianggap buta huruf latin.
Pada salah satu point dalam angket yang ditujukan kepada bupati-bupati berbunyi sebagai berikut :” apakah tuan bupati tidak sepaham dengan kami bahwa pendidikan berguna adalah jenis pendidikan yang sesuai dengan rumah tangga desa”.
Jadi jelaslah bahwa madrasah pesantren dianggap tidak berguna. Dan tingkat sekolah pribumi adalah rendah, sehingga disebut sekolah desa, dimaksudkan untuk menandingi madrasah, pesantren dan pengajian yang ada didesa itu.
Kehadiran Belanda di Indonesia tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam dan memonopoli pendidikan Indonesia tetapi juga menekan politik dan kehidupan keagamaan rakyat Indonesia. Belanda terus menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak pengalaman agama islam, contohnya, yang pertama, Belanda membentuk lembaga yang bernama Priesterraden[3], atas nasehat dari badan inilah pada tahun 1905 pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberi pengajaran (membaca pengajian) harus meminta izin terlebih dahulu. Yang kedua yaitu ibadah haji dibatasi dan jamaah haji yang pulang ke Indonesia diawasi dengan ketat untuk mengantisipasi para Haji ini yang dapat membangkitkan semangat perlawanan terhadap pemerintah Belanda. [4]
Kebijakan Belanda ini berakibat pengajaran nilai-nilai islam dan peningkatan keberlakuan islam menjadi tersendat, meski demikian Belanda tetap khawatir akan bahaya setiap kebencian dan perusuhan umat islam, untuk mendapat sedikit simpati, Belanda memberi sedikit kelonggaran yaitu tidak ada pembatasan jumlah jamaah haji, akibatnya  jamaah haji menjadi melonjak dan berlipat-lipat, jamaah haji yang pergi ke tanah suci tidak hanya menjalankan haji tetapi juga memperdalam ilmu pengetahuan agama, sehingga pada saat mereka pulang ke kampong halaman, ini sangat bermanfaat bagi pengajaran islam, sehingga terjadi pelonjakan jumlah lembaga islam, berdasar statistic resmi pemerintah tahun 1885, jumlah lembaga islam tradisional tercatat sebanyak 14.929 diseluruh Jawa dan Madura.[5]
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
a.       Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu.
b.      Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan colonial.
c.       Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.
d.      Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.

Maka pada tahun 1901 munculah apa yang disebut dengan politik ETIS yakni politik balas budi bangsa Belanda kepada Indonesia. Pencetus politik ini adalah Van Deventer, yang kemudian politik ini dikenal juga dengan Trilogi Van Deventer. Secara umum isi dari politik ETIS ini ada tiga macam yaitu, Education (pendidikan), Imigrasi (perpindahan penduduk) dan Irigasi (pengairan). Yang akan dikupas adalah mengenai education atau pendidikan.
Pada tahun 1925 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama islam yaitu tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pengajaran mengaji. Peraturan itu mungkin oleh adanya gerakan organisasi pendidikan islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, partai serikat islam, Al-irsyad, dan lain-lain.
Pada tahun 1932 keluar peraturan pula yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang ntidak disukai oleh pemerintahan yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme pada tahun 1928, berupa sumpah pemuda. Selain dari pada itu untuk lingkungan kehidupan agama Kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi rakyat, dan untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama disekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama. Bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. Dan pemerintah melindungi tempat peribadatan agama (indesche staat regeling fasal 173-174).[6]
Jika dilihat dari peraturan-peraturan pemerintahan Belanda yang demikian ketat dan keras mengenai pengawasan, tekanan dan pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan islam akan menjadi lumpuh dan porak poranda. Akan tetapi apa yang dapat di saksikan dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat islam di Indonesia pada zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung.
Jiwa islam tetap terpelihara dengan baik. Para ulama dan kyai bersikap non cooperative dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan berpegang pada hadist nabi yang artinya :”Barang siapa yang menyerupai suatu golongan maka ia termasuk golongan tersebut” (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban) dan mereka tetap berpegang teguh pada ayat Al-Qur’an surat Al-Mu’idah ayat 51 :
* $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? yŠŽø9$# #|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïôgtƒ tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Ma’idah :51)

Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan islam pada zaman kolonial Belanda tidak mendapat rintangan yang sangat besar, para muslim Indonesia bisa mengatasi dengan jalan underground. hal ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja pada Belanda yang telah menjadi perintang kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang msih berlaku sampai sekarang sehingga orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan. “Hal ini tentu penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak”[7]

2.      Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Jepang
Pendidikan islam zaman penjajahan Jepang dimulai pada tahun 1942-1945, sebab bukan hanya Belanda saja yang mencoba berkuasa di Indonesia.
“Dalam perang pasifik (perang dunia ke II), Jepang memenangkan peperangan pada tahun 1942 berhasil merebut indonesia dari kekuasaan Belanda. Perpindahan kekuasaan ini terjadi ketika kolonial Belanda menyerah tanpa sayarat kepada sekutu”[8]. “Penjajahan Jepang di indonesia mempunyai konsep hokko ichiu (kemakmuran bersama asia raya) dengan semboyan asia untuk asia”[9] .Jepang mengumumkan rencana mendirikan lingkungan kemakmuran bersama asia timur raya pada tahun 1940. Jepang akan menjadi pusat lingkungan pengaruh atas delapan daerah yakni: manchuria, daratan cina, kepuluan muangtai, malaysia, indonesia, dan asia rusia. Lingkungan kemakmuran ini disebut dengan hakko I chi-u (delapan benang dibawah satu atap).
Pada babak pertama pertamanya pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan islam, yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan perang dunia II. Untuk mendekati umat islam Indonesia mereka menepuh kebijaksanaan antara lain :
a.       Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
b.      Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
c.       Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
d.      Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
e.        Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
f.        Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi
Maksud dari pemerintah Jepang adalah supaya kekuatan umat islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang asia timur raya yang dipimpin oleh Jepang.[10]
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
a.       Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda.
b.      Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Kebijakan politik Jepang juga tampaknya tidak jauh beda dengan scenario yang dibuat oleh Snouck Hurgronje, yaitu memisahkan islam dari politik praktisnya. Jepang mulai menerapkan pengawasan-pengawasan secara ketat terhadap organisasi-organisasi islam, terutama terhadap pendidikan islam. Namun paradok dengan misinya tersebut, rezim Jepang malah membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin muslim terlibat dalam organisasi-organisasi politis yang diciptakannya. Dalam mobilisasi islam Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan yang sangat dekat dengan elit muslim, sebagai bukti, Jepang membentuk organisasi federative baru yang bernama MASYUMI (Majelis Syuro Muslim Indonesia) tanggal 22 November 1943 dan diberi status hukum pada 1 Desember 1943, sebagai ketua organisasi ini adalah K.H. Hasyim Asy’ari.
Pada saat berdiri, keanggotaan masyumi hanya terbuka kepada organisasi islam yang diberi status hukum oleh pemerintah militer. Artinya hanya Muhammadiyah dan NU saja yang dapat bergabung. Namun 3 bulan kemudian anggota masyumi bertambah dengan masuknya al-ittihajatul islamiyah dan PUI yang direstui oleh pihak Jepang.
Masyumi semakin kokoh ketika tanggal 1 Agustus 1944 pemerintah Jepang mengeluarkan pengumuman reorganisasi shumubu (kantor urusan agama bentukan Jepang) yang bertujuan agar semua masalah agama dapat diatur dengan mudah. Konsekuensi reorganisasi ini, Husien Djaraningrat, kepala shumubu mengundurkan diri, lalu diganti oleh ketua Masyumi, K.H. Hasyim Asy’ari. Dengan demikian kegiatan agama keislaman dibawah control elit muslim.
Tidak lama setelah itu, jepang mengadakan perubahan di bidang pendidikan, di antaranya  menghapuskan dualisme pengajaran. Dengan begitu habislah riwayat penyusunan pengajaran Belanda yang dualistis membedakan antara pengajaran barat dan pengajaran bumi putera. Dengan penghapusan pendidikan bertujuan mengambil hati rakyat indonesia dan pemerintahan jepang beralih bahwa pendidikan itu tidak ada perbedaan antara golongan satu dengan golongan lainnya. Pada hal sebenarnnya jepang mempunyai semboyan Asia untuk Asia. Jepang menguasai daerah Indonesia yang kaya sumber bahan mentah. Hal itu sangat berguna bagi sarana yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan perang jepang.
Pendidikan pada zaman jepang disebut Hakku Ichiu yakni mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu bagi setiap pelajar setiap hari terutama pada pagi harus mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar jepang, lalu di latih kemiliteran. Pada hal secara realitanya sistem sekolah pada zaman jepang banyak perbedaannya dibandingkan dengan penjajahan Belanda. Hanya satu sekolah rendah diadakan bagi semua lapisan masyarakat, ialah sekolah rakyat enam tahun, yang dikenal dengan nama Kokumin Gakko. Sekolah-sekolah desa dibiarkan, tetapi namanya diganti menjadi sekolah pertama. Adapun susunan pengajaran menjadi. Pertama Sekolah Rakyat enam tahun( termasuk Sekolah Pertama). Kedua Sekolah menengah tiga tahun. Ketiga, Sekolah Menengah Tinggi tiga tahun(SMA pada zaman Jepang). Terbukti bahwa sistem perjenjangan yang berlaku di Indonesia merupakan warisan masa penjajahan jepang.
Namun ada kelebihannya pada masa jepang yakin menjunjung dan menetapkan bahasa indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Pemakaian bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah telah dilaksanakan. Namun demikian sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat untuk memperkenalkan kebudayaan jepang kepada rakyat. Di sinilah kewajiban sebagai pendidik yang mampu mengadakan filter terhadap kebudayaan-kebudayaan asing, sehingga yang tidak sesuai perlu dibuang jauh-jauh.
Pada awalnya pemerintahan jepang mengambil siasat merangkul umat islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia. Sikap penjajah jepang terhadap pendidikan islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan islam ternyata lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintah kolonial Belanda. Hal ini dikarenakan jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi jepang adalah demi keperluan memenangkan perang, dan kalau perlu para pemuka agama lebih di berikan keleluasan dalam mengembangkan pendidikannya. Dengan mendekati dan mengambil hati umat Islam, mereka dapat memperkuat kekuasaannya di Indonesia. Untuk itu mereka menempuh beberapa kebijakan. Kantor Urusan Agama pada zaman Belanda disebut kantoor Vorr Islamistiche Zaken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda diubah namanya oleh jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama islam, yaitu KH.Hasyim Asy’ari, sedangkan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
Pesantren yang besar-besar saring mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar jepang. Sekolah negeri diberi  pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama. Pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda islam, yang dipimpin oleh KH. Zainul Arifin. Pemerintahan Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di jakarta yang dipimpin oleh ulama Islam, yaitu KH.Hasyim Asy’ari, sedangkan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
Pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang. Sekolah negri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama. Pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda islam , yang dipimpin oleh KH.Zainul Arifin. Pemerintahan jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimmpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Bung Hatta. Dengan bekerjasama dengan pemimpin-pemimpin nasional, ulama’ islam diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air(PETA). Umat islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majlis Islam A’la Indonesia(IMAI).
Pada perang dunia II kedudukan Jepang terjepit, akhirnya jepang mulai menekan dan menjalankan kekerasan terhadap bangsa Indonesia. Hasil  kekayaan bumi Indonesia dikuras untuk pembiayaan perang Asia Timur Raya. Jepang lalu memberlakukan kerja paksa(Romusha), kemudian Jepang membentuk badan-badan pertahanan rakyat semesta. Kehidupan rakyat Indonesia semakin tertindas dan menderita, maka lahirlah berbagai pemberontakan.
Dengan demikian pendidikan Islam khususnya dan pendidikan di Indonesia pada umumnya pada zaman Jepang telah menjadi kemerosotan dan kemunduran dalam bidang pendidikan, karena ketatnya pengaruh indoktrinasi serta disiplin mati akibat pendidikan militerisme fascisme Jepang. Namun demikian masih ada beberapa keuntungan di balik kekejaman Jepang tersebut. Bahasa Indonesia hidup dan berkembang secara luas di seluruh Indonesia, baik sebagai bahasa pergaulan, bahasa pengantar maupun sebagai bahasa ilmiah.
Buku-buku dalam bahasa asing yang diperlukan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kreativitas guru-guru berkembang dalam memenuhi kekurangan buku pelajaran dengan menyadur atau mengarang sendiri, termasuk krteatifitas untuk menciptakan alat peraga dan model dengan bahan dan alat yang tersedia. Seni bela diri dan latihan perang-perangan sebagai kegiatan kurikuler di sekolah telah membangkitkan keberanian pada para pemuka yang ternyata sangat berguna dalam perang kemerdekaan. Diskriminasi menurut golongann penduduk, keturunan dan agama ditiadakan, sehingga semua lapisan masyarakat mendapat kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan.
Pendidikan Islam  di zaman Jepang dapat bergerak lebih bebas bila dibandingkan dari zaman Belanda. Pada masa penjajahan Jepang atas usaha Mahmud Yunus di sumatera barat, dapat disetujui oleh kepala Jawatan Pengajaran Jepang untuk memasukkan pendidikan agama islam ke sekolah-sekolah pemerintah, mulai dari Sekolah Desa. Selanjutnya Majlis Islam Tinggi di Sumatera Utara, menetapkan rencana pengajaranya yang disusun oleh Muhammad Yunus. Karena pengaruh indroktinasi yang ketat untuk men-Jepang-kan rakyat Indonesia, justru perasaan rindu kepada kebudayaan sendiri dan kemerdekaan nasional berkembang dan bergejolak secara luar biasa.





















BAB III
PENUTUP

C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
a.              Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu.
b.            Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan colonial.
c.              Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.
d.             Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.
Jepang menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
a.       Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda
b.      Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Pada masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mendapatkan pendidikan. Namun pendidikan yang ada di Indonesia wajib mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat oleh Belanda. Dalam hal ini, Belanda menerapkan pendidikan di Indonesia dengan tujuan menjadikan rakyat Indonesia sebagai pekerja bagi orang Belanda dengan gaji atau upah yang tidak setimpal.
Pada masa penjajahan Jepang, pendidikan yang ada di Indonesia dikelola oleh Jepang. Dalam hal ini, rakyat indonesia diberikan pendidikan  agar mampu mendukung kemenangan militer Jepang dalam peperangan pasifik.
Pada masa sekarang ini, pendidikan di Indonesia sudah lebih maju. Hal ini ditandai dengan adanya sistem kurikulum dalam dunia pendidikan. Namun pendidikan  di Indonesia belum mampu menerapkan kurikulum yang tepat bagi pendidikan yang ada di Indonesia.

2.      Saran
Dalam penulisan makalah kami, kami mempunyai saran sebagai berikut:
a.       Kita sebagai umat islam, harus mempunyai rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara terutama dalam dunia pendidikan.
b.      Sebagai mahasiswa kependidikan islam, sudah seharusnya kita mempelajari Sejarah Pendidikan Islam.




















DAFTAR PUSTAKA

Zuhairini, 1995. Sejarah pendidikan Islam. Bumi aksara:Jakarta
Hanun Asrohah, 1999. Sejarah pendidikan Islam. PT LOGOS: Jakarta
Zuhairini dkk, 1986. Sejarah Pendidikan Islam. Proyek pembinaan sarana dan prasarana IAIN: Jakarta
Drs. Rohidin Wahab, 2004. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Alfabeta: Bandung
Suwendi, 2004. Sejarah Pendidikan Islam. PT Grafindo Persada: Jakarta
Redja Mudyaharjo, 2001. Pengantar Pendidikan. PT Grafindo Persada: Jakarta









[1] Doktrin Mathias
[2] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-4, 1995, hal. 147
[3] HR. Mubangid, Diktat Kuliah : sejarah pendidikan Islam
[4] Hanun Asrohah, Sejarah pendidikan islam,  Jakarta: PT LOGOS, cet.1, 1999, hal.151
[5] Ibid hal. 152
[6] Dra. Zuhairini dkk, sejarah pendidikan islam (Jakarta:proyek pembinaan sarana dan prasarana IAIN, 1986) hal.159
[7] Drs Rohidin Wahab,Sejarah Pendidikan Islam di indonesia (Bandung:Alfabeta,2004) hal 17
[8] Suwendi, sejarah dan pemikiran pendidikan islam (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), hal 85
[9] Redja mudyaharjo, pengantar pendidikan (jakarta : PT Grafindo Persada, 2001 ),hal 267
[10] Dra. Zuhairini dkk, sejarah pendidikan islam (Jakarta:proyek pembinaan sarana dan prasarana IAIN, 1986) hal.151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar