Selasa, 14 Maret 2017

Keber-Islam-an Umat

Mari kita renungkan lagi keber-Islam-an kita sebagai umat Islam. Saya menemukan sejumlah keganjilan dan paradox sebagai bahan renungan kita bersama.

Kita, sebagai umat Islam, sering sekali bangga dengan kuantitas populasi kita sebagai umat Islam terbesar didunia. Namun kita juga sering kali malu akibat predikat kita sebagai bangsa terkorup didunia. Di berbagai survey internasional, kita masuk lingkup bangsa yang tertinggi dari segi korupsinya.

Juga, disatu sisi, agama kita, Islam, mengajak kita untuk hidup dalam kedamaian dan keadaban. Namun, di antara saudara-saudara kita yang muslim sering kali melampiaskan emosi kemarahan dengan kekerasan, ledakan bom, dan terorisme. Kekuatan kita untuk menolak pelabelan negative sebagai “Muslim teroris’ tiba-tiba harus berbenturan dengan suatu fakta bahwa saudara-saudara kita justru memilih jalan kematian melalui kemartiran dan ledakan bom terorisme.

Disatu sisi, kita menaruh komitmen keberagaman kita sebagai muslim moderat. Yakni, muslim yang selalu berusaha ditengah-tengah, pada posisi moderat, dan menjaga keseimbangan untuk tidak terjatuh pada salah satu kutub ekstrem mana pun. Namun, disisi lain, saudara-saudara kita justru sering kali terjatuh pada kutub ekstrem radikalisme dan fundamentalisme. Tentu, kita hargai pilihan itu. Namun, yang kita sesalkan bersama, tentu saja aspek ritualisasi kekerasan atas nama Islam.

Komitmen keber-Islam-an diantara saudara-saudara kita untuk menegakkan misi amar makruf nahi munkar harus terbentur dan dibenturkan pada jalan konflik dan kekerasan. Tentu, jalan konflik dan kekerasan bersebrangan secara diametral dengan spirit Islam, al-qur’an dan keteladanan rasul. Kita, sebagai umat Islam, dipandu untuk selalu merefleksikan orientasi keber-Islam-an kita pada kearifan (al-hikmah), seruan yang baik (mau’idlah al-hasanah) dan penuh nuansa diskurtif secara lebih baik (wa jadil hum bi ‘l-lati hiya ahsan)

Karakter itulah yang hari-hari ini absen pada diri umat Islam akhir-akhir ini, baik di tingkat elit maupun lapisan bawahnya, kita, umat Islam, kehilangan segi-segi kearifan dalam keber-Islam-an dewasa ini. Di satu sisi gairah keber-Islam-an kita menggelora secara gegap gempita. Namun disisi lain, luapan itu sering kali kontra-produktif dengan cita-cita profetik Islam. Jadi kita mengalami krisis kearifan keber-Islam-an pada dua tingkat sekaligus : elite dan umat. Di tingkat elite. Sering kali pemimpin agama kita justru memobilisasi kesadaran umat yang emosional untuk tujuan-tujan jangka pendek dan politis. Namun, ditingkat umat, luapan emosional itu seringkali justru bermuara pada fenomena yang destruktif dan kontra-produktif dengan usaha kita membangun citra Islam yang ramah, toleran dan penuh kedamaian. Inilah fenomena umat Islam dewasa ini, baik di berbagai daerah maupun di pusat Jakarta.

Sebagai muslim yang selalu merefleksiakan kembali arti hidup di dunia fana ini, saya ingin mengajak kita semua, terutama pembaca budiman, untuk menghidupkan kembali segi-segi kearifan dan kebijaksanaan hidup yang built-in pada diri kita. Sebab, demikian keyakinan saya, dengan menghidupkan dan mengedepankan segi-segi kearifan dan kebijaksanaan hidup, kita akan lebih merasa terpanggil pada proses pencerdasan dan pencerahan saudara-saudara kita. Proses ini, dari segi kalkulasi apapun, jauh lebih baik, lebih berharga, dan lebih produktif nilainya untuk masa depan Islam dan umatnya, ketimbang memobilisasi mereka demi kepentingan politik semu dan sesaat. Pada sisi lain, saudara-saudara kita juga lebih merasa sadar, bahkan juga tercerahkan, dengan kearifan dan keteladanan yang kita biasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Wallahu a’lam bi al-shawab, amien