Sabtu, 12 November 2016

Santri era Post-Modern: Antara Hedonis, Apatis dan Utopis

Dewasa ini kita melihat kultur di dunia pesantren mulai mengalami regresi yang semakin lama semakin tidak bisa dianggap sepele, sebut saja mulai dari adat ghosob sandal yang tidak ada penyelesaian konkrit hingga abad millennium, hingga kebanggaan memiliki gadget bernilai jutaan rupiah dengan menunggak syahriyah di tiap bulannya.
Bila kita berbicara tentang santri tentu kita akrab dengan kehidupan sosial yang dialami secara langsung oleh para santri di setiap harinya, yang memang pendidikan para santri selain di fokuskan kepada penguasaan ilmu agama yang mumpuni juga pendidikan para santri di pesantren mengharapkan santri bisa ber-interaksi dan ber-kolaborasi secara utuh dan luwes dengan masyarakat sekitar agar bisa memberi manfaat bagi lingkunganya.
Seiring dengan berjalannya waktu, dinamika sosial yang terjadi di dalam lingkungan pesantren terus menunjukan gejala-gejala yang mirip dengan gejala di dunia luar dan seakan tidak memiliki identitas. Saat ini ada beberapa pesantren yang memang sedikit demi sedikit mencoba merevisi corak pendidikannya dari system klasikal (salaf) menjadi system modern (Kholaf), Perubahan paradigma  ini memang tidaklah menjadi suatu persoalan yang perlu didebatkan, karena ini memang salah satu upaya inovasi bagi lembaga pesantren untuk setidaknya “tetap hidup” dan menarik minat para wali santri untuk mendaftarkan putra-putrinya nyantri di pesantren itu, kan ?.
Sadar ataupun tidak sadar kita hari ini sudah terlanjur memasuki era post-modern yang mana terjadi gejala perubahan dalam berinteraksi sosial, cara berkomunikasi serta sikap dan perilaku sosial dalam menyikapi realitas, dan dalam masyarakat post-modern, realitas sosial tidak lagi dipahami hanya sebatas objek yang teramati, melainkan menjadi sesuatu hal yang melampaui realitas itu sendiri (hyper-reality).
Menurut Paul Baudrillad[1] era post-modern ditandai dengan makin maraknya komunikasi bermediasi, konsumsi simbolis, dan semakin padatnya ruang dan waktu. Peran media massa semakin intensif dalam membangun masyarakat yang didasarkan atas keteraturan tatanan sosial konsumsi simbolis. Konstruksi sosial media massa yang semakin signifikan melahirkan referensialitas-diri (self-reference) pada simbol-simbol seperti cap dan merek dagang tertentu.
Konsumsi masyarakat post-modern tidak lagi hanya didasarkan pada fungsi dan kegunaannya, melainkan juga didasarkan pada makna sosial simbolis yang dibawanya. Memiliki barang-barang mahal yang bermerk tinggi seperti ponsel Apple atau Samsung setidaknya lebih bergengsi daripada ponsel merk lain yang tidak terkenal meskipun spesifikasinya sama. hal ini memang bukan hal yang aneh bila dilihat menurut kaca mata Paul Baudrillad yang mana perubahan era modern ke era post-modern ditandai dengan pergerseran tatanan sosial masyarakat dari produksi dan konsumsi komoditas menjadi simulasi serta permainan citra dan tanda. Sementara itu kode, model dan tanda menjadi bentuk-bentuk tatanan sosial baru dalam logika simulasi. Sehingga orang akan sulit membedakan mana realitas sosial yang alami, mana realitas sosial yang semu, serta mana realitas sosial yang melampaui batas dirinya sendiri.
  
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs. Al-Maidah : 87)

Bila kita melihat dari temuan yang di ungkap Paul Baudrillad diatas memang fenomena masyarakat post-modern sedikit banyak sudah menjangkit dan menggerogoti urat-saraf jiwa sosial para santri di pondok pesantren, terlebih lagi jika santri sudah terkena nomophobia [2] ini akan sangat sulit untuk menumbuhkan jiwa sosialnya di dunia nyata tanpa ada dorongan yang kuat dari luar untuk bergerak.
Menurut penulis pembatasan penggunaan ponsel maupun alat komunikasi modern lain di pesantren merupakan kebijakan utopis yang tidak akan membendung budaya apatis dari para santri terlebih konteksnya untuk santri yang didalamnya mayoritas adalah seorang mahasiswa, seyogyanya pembuatan forum-forum kumpul sanri seperti diskusi, masak bareng, dan tadabbur alam marupakan sebuah solusi yang ditawarkan penulis agar para santri bisa saling interaksi secara nyata.

Wallahu A'lam Bishawab.







[1] Jean Baudrillard (Reims, 20 Juni 1929–Paris, 6 Maret 2007) adalah seorang pakar teori kebudayaan, filsuf, komentator politik, sosiolog dan fotografer asal Perancis
[2] Nomophobia adalah perasaan ketakutan (phobia) yang tiba-tiba muncul ketika anda tidak bisa mengakses kontak yang terdapat di telepon seluler. Baik itu karena daya baterai habis, tidak ada sinyal, atau kehilangan ponsel. Nomophobia, no-mobile-phone-phobia. Sederhananya adalah rasa takut kehilangan telepon genggam