Selasa, 14 Maret 2017

Keber-Islam-an Umat

Mari kita renungkan lagi keber-Islam-an kita sebagai umat Islam. Saya menemukan sejumlah keganjilan dan paradox sebagai bahan renungan kita bersama.

Kita, sebagai umat Islam, sering sekali bangga dengan kuantitas populasi kita sebagai umat Islam terbesar didunia. Namun kita juga sering kali malu akibat predikat kita sebagai bangsa terkorup didunia. Di berbagai survey internasional, kita masuk lingkup bangsa yang tertinggi dari segi korupsinya.

Juga, disatu sisi, agama kita, Islam, mengajak kita untuk hidup dalam kedamaian dan keadaban. Namun, di antara saudara-saudara kita yang muslim sering kali melampiaskan emosi kemarahan dengan kekerasan, ledakan bom, dan terorisme. Kekuatan kita untuk menolak pelabelan negative sebagai “Muslim teroris’ tiba-tiba harus berbenturan dengan suatu fakta bahwa saudara-saudara kita justru memilih jalan kematian melalui kemartiran dan ledakan bom terorisme.

Disatu sisi, kita menaruh komitmen keberagaman kita sebagai muslim moderat. Yakni, muslim yang selalu berusaha ditengah-tengah, pada posisi moderat, dan menjaga keseimbangan untuk tidak terjatuh pada salah satu kutub ekstrem mana pun. Namun, disisi lain, saudara-saudara kita justru sering kali terjatuh pada kutub ekstrem radikalisme dan fundamentalisme. Tentu, kita hargai pilihan itu. Namun, yang kita sesalkan bersama, tentu saja aspek ritualisasi kekerasan atas nama Islam.

Komitmen keber-Islam-an diantara saudara-saudara kita untuk menegakkan misi amar makruf nahi munkar harus terbentur dan dibenturkan pada jalan konflik dan kekerasan. Tentu, jalan konflik dan kekerasan bersebrangan secara diametral dengan spirit Islam, al-qur’an dan keteladanan rasul. Kita, sebagai umat Islam, dipandu untuk selalu merefleksikan orientasi keber-Islam-an kita pada kearifan (al-hikmah), seruan yang baik (mau’idlah al-hasanah) dan penuh nuansa diskurtif secara lebih baik (wa jadil hum bi ‘l-lati hiya ahsan)

Karakter itulah yang hari-hari ini absen pada diri umat Islam akhir-akhir ini, baik di tingkat elit maupun lapisan bawahnya, kita, umat Islam, kehilangan segi-segi kearifan dalam keber-Islam-an dewasa ini. Di satu sisi gairah keber-Islam-an kita menggelora secara gegap gempita. Namun disisi lain, luapan itu sering kali kontra-produktif dengan cita-cita profetik Islam. Jadi kita mengalami krisis kearifan keber-Islam-an pada dua tingkat sekaligus : elite dan umat. Di tingkat elite. Sering kali pemimpin agama kita justru memobilisasi kesadaran umat yang emosional untuk tujuan-tujan jangka pendek dan politis. Namun, ditingkat umat, luapan emosional itu seringkali justru bermuara pada fenomena yang destruktif dan kontra-produktif dengan usaha kita membangun citra Islam yang ramah, toleran dan penuh kedamaian. Inilah fenomena umat Islam dewasa ini, baik di berbagai daerah maupun di pusat Jakarta.

Sebagai muslim yang selalu merefleksiakan kembali arti hidup di dunia fana ini, saya ingin mengajak kita semua, terutama pembaca budiman, untuk menghidupkan kembali segi-segi kearifan dan kebijaksanaan hidup yang built-in pada diri kita. Sebab, demikian keyakinan saya, dengan menghidupkan dan mengedepankan segi-segi kearifan dan kebijaksanaan hidup, kita akan lebih merasa terpanggil pada proses pencerdasan dan pencerahan saudara-saudara kita. Proses ini, dari segi kalkulasi apapun, jauh lebih baik, lebih berharga, dan lebih produktif nilainya untuk masa depan Islam dan umatnya, ketimbang memobilisasi mereka demi kepentingan politik semu dan sesaat. Pada sisi lain, saudara-saudara kita juga lebih merasa sadar, bahkan juga tercerahkan, dengan kearifan dan keteladanan yang kita biasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Wallahu a’lam bi al-shawab, amien

Sabtu, 12 November 2016

Santri era Post-Modern: Antara Hedonis, Apatis dan Utopis

Dewasa ini kita melihat kultur di dunia pesantren mulai mengalami regresi yang semakin lama semakin tidak bisa dianggap sepele, sebut saja mulai dari adat ghosob sandal yang tidak ada penyelesaian konkrit hingga abad millennium, hingga kebanggaan memiliki gadget bernilai jutaan rupiah dengan menunggak syahriyah di tiap bulannya.
Bila kita berbicara tentang santri tentu kita akrab dengan kehidupan sosial yang dialami secara langsung oleh para santri di setiap harinya, yang memang pendidikan para santri selain di fokuskan kepada penguasaan ilmu agama yang mumpuni juga pendidikan para santri di pesantren mengharapkan santri bisa ber-interaksi dan ber-kolaborasi secara utuh dan luwes dengan masyarakat sekitar agar bisa memberi manfaat bagi lingkunganya.
Seiring dengan berjalannya waktu, dinamika sosial yang terjadi di dalam lingkungan pesantren terus menunjukan gejala-gejala yang mirip dengan gejala di dunia luar dan seakan tidak memiliki identitas. Saat ini ada beberapa pesantren yang memang sedikit demi sedikit mencoba merevisi corak pendidikannya dari system klasikal (salaf) menjadi system modern (Kholaf), Perubahan paradigma  ini memang tidaklah menjadi suatu persoalan yang perlu didebatkan, karena ini memang salah satu upaya inovasi bagi lembaga pesantren untuk setidaknya “tetap hidup” dan menarik minat para wali santri untuk mendaftarkan putra-putrinya nyantri di pesantren itu, kan ?.
Sadar ataupun tidak sadar kita hari ini sudah terlanjur memasuki era post-modern yang mana terjadi gejala perubahan dalam berinteraksi sosial, cara berkomunikasi serta sikap dan perilaku sosial dalam menyikapi realitas, dan dalam masyarakat post-modern, realitas sosial tidak lagi dipahami hanya sebatas objek yang teramati, melainkan menjadi sesuatu hal yang melampaui realitas itu sendiri (hyper-reality).
Menurut Paul Baudrillad[1] era post-modern ditandai dengan makin maraknya komunikasi bermediasi, konsumsi simbolis, dan semakin padatnya ruang dan waktu. Peran media massa semakin intensif dalam membangun masyarakat yang didasarkan atas keteraturan tatanan sosial konsumsi simbolis. Konstruksi sosial media massa yang semakin signifikan melahirkan referensialitas-diri (self-reference) pada simbol-simbol seperti cap dan merek dagang tertentu.
Konsumsi masyarakat post-modern tidak lagi hanya didasarkan pada fungsi dan kegunaannya, melainkan juga didasarkan pada makna sosial simbolis yang dibawanya. Memiliki barang-barang mahal yang bermerk tinggi seperti ponsel Apple atau Samsung setidaknya lebih bergengsi daripada ponsel merk lain yang tidak terkenal meskipun spesifikasinya sama. hal ini memang bukan hal yang aneh bila dilihat menurut kaca mata Paul Baudrillad yang mana perubahan era modern ke era post-modern ditandai dengan pergerseran tatanan sosial masyarakat dari produksi dan konsumsi komoditas menjadi simulasi serta permainan citra dan tanda. Sementara itu kode, model dan tanda menjadi bentuk-bentuk tatanan sosial baru dalam logika simulasi. Sehingga orang akan sulit membedakan mana realitas sosial yang alami, mana realitas sosial yang semu, serta mana realitas sosial yang melampaui batas dirinya sendiri.
  
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs. Al-Maidah : 87)

Bila kita melihat dari temuan yang di ungkap Paul Baudrillad diatas memang fenomena masyarakat post-modern sedikit banyak sudah menjangkit dan menggerogoti urat-saraf jiwa sosial para santri di pondok pesantren, terlebih lagi jika santri sudah terkena nomophobia [2] ini akan sangat sulit untuk menumbuhkan jiwa sosialnya di dunia nyata tanpa ada dorongan yang kuat dari luar untuk bergerak.
Menurut penulis pembatasan penggunaan ponsel maupun alat komunikasi modern lain di pesantren merupakan kebijakan utopis yang tidak akan membendung budaya apatis dari para santri terlebih konteksnya untuk santri yang didalamnya mayoritas adalah seorang mahasiswa, seyogyanya pembuatan forum-forum kumpul sanri seperti diskusi, masak bareng, dan tadabbur alam marupakan sebuah solusi yang ditawarkan penulis agar para santri bisa saling interaksi secara nyata.

Wallahu A'lam Bishawab.







[1] Jean Baudrillard (Reims, 20 Juni 1929–Paris, 6 Maret 2007) adalah seorang pakar teori kebudayaan, filsuf, komentator politik, sosiolog dan fotografer asal Perancis
[2] Nomophobia adalah perasaan ketakutan (phobia) yang tiba-tiba muncul ketika anda tidak bisa mengakses kontak yang terdapat di telepon seluler. Baik itu karena daya baterai habis, tidak ada sinyal, atau kehilangan ponsel. Nomophobia, no-mobile-phone-phobia. Sederhananya adalah rasa takut kehilangan telepon genggam

Minggu, 28 Juni 2015

Adam dan Hawa di Surga Mana?

Kalau kita perhatikan, kisah kejatuhan Adam dari surga mencakup beberapa unsur: Adam sendiri, istrinya, surga, kekhalifahan, malaikat, Iblis, pohon terlarang, godaan, pelanggaran, hal Adam dan istrinya yang telanjang, pengusiran (yang pertama) dari surga, ajaran Tuhan, ampunan Tuhan, pengusiran (yang kedua) dari surga, peran setan di bumi sampai Hari Kiamat, perjuangan manusia. Masing-masing unsur itu sarat dengan makna dan tafsiran. Para ulama mencoba menerangkan masing-masing itu kurang lebih demikian:

Tentang Adam, sejauh yang dipercayai oleh kaum Muslim seperti juga oleh kaum Yahudi dan Nasrani, ialah bahwa dia adalah bapak umat manusia (abû al-basyar). Ia diciptakan dari tanah menurut bentuk tertentu (masnûn), dan setelah lengkap bentukan itu maka ditiupkan ke dalamnya sesuatu dari ruh kepunyaan Tuhan. Manusia diciptakan dari pribadi yang tunggal (min nafs-in wâhidah), kemudian daripadanya diciptakan jodoh-jodohnya, dan dari jodoh-jodoh itu dijadikanlah seluruh umat manusia, lelaki dan perempuan (Q., 4: 1). Keturunan Adam (dan Hawa) sendiri tidak lagi dibuat dari tanah, tetapi dari “air yang menjijikkan” (sperma dan ovum). Tetapi sama halnya dengan Adam, setelah proses pembentukan janin mencapai tahap yang lengkap, maka ditiupkan oleh Allah ke dalamnya sesuatu dari ruh milik-Nya, dan dibuatkan pendengaran, penglihatan dan kekuatan pikiran (fu’âd, jamak: af’idah) (Q., 32: 7-9).

Hawa adalah istri Adam, ibu umat manusia. Dalam Al-Quran nama pribadi Hawa dan cara penciptaannya tidak disebutkan, kecuali bahwa Adam mempunyai seorang istri. Menurut Hamka, kepercayaan umum bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk lelaki bukan berasal dari Al-Quran, melainkan dari beberapa hadis oleh Bukhari dan Muslim. Tetapi Hamka meragukan apakah benar hadis yang menyatakan tentang hal itu harus diartikan bahwa Hawa memang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Yang jelas, kata Hamka, hadis itu mengingatkan kita semua tentang tabiat wanita. Dan Nabi memberi petunjuk tentang bagaimana menangani tabiat itu, yang petunjuk itu, kata Hamka selanjutnya, harus diterima dan diamalkan dengan penuh rendah hati.

Perkataan dalam Al-Quran yang kita terjemahkan dengan surga (dari bahasa Sansekerta) ialah jannah. Makna lain perkataan itu ialah kebun atau taman. A. Hasan menjelaskan arti jannah itu dengan kebun atau surga. Sedang Hamka menerjemahkan jannah dengan taman. Para ulama berselisih surga mana yang dimaksud sebagai tempat Adam dan Hawa: apakah sama atau tidak dengan surga yang dijanjikan untuk kaum beriman kelak di Hari Kemudian? Jika sama, mengapa dalam surga Adam dan Hawa itu terdapat pembangkangan, malah setan pun ada di sana, padahal dalam Al-Quran digambarkan bahwa dalam surga kelak tidak ada lagi pembicaraan sia-sia atau kotor, apalagi pembangkangan kepada Allah. Yang ada ialah kedamaian sempurna yang abadi (Q., 56: 25-26). Jika tidak sama, lalu di mana sesungguhnya surga Adam dan Hawa itu? Pendapat dan tafsiran masih bermacam-macam, meskipun jelas bahwa surga Adam dan Hawa itu adalah tempat yang menyenangkan: makanan berupa buah-buahan melimpah ruah, tidak ada kelaparan maupun kehausan, juga tidak ada hal telanjang, dan manusia tidak akan kepanasan.

Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Selasa, 23 Juni 2015

Karakteristik Orang Kreatif

Pernah melihat orang melamun? Atau kamu malah sering melamun? Tapi seberapa produktifkah melamunmu menghasilkan karya. Karena orang kreatif memang cenderung melamun, mereka bergelut dalam alam pikiran yang memungkinkan segala sesuatu terjadi, yang pada akhirnya orang kreatif terkesan tenggelam dalam dunianya sendiri.
Mari kita kenali beberapa karakteristik orang kreatif  agar lamunan kita tidak salah arah, sehingga kita mengenal beda antara kreatif dan malas.
Tidak suka peraturan
Pemberontak, inilah anggapan banyak orang terhadap sosok yang kreatif.Orang yang kreatif  biasanya kurang suka terikat. Penyebabnya, orang-orang kreatif  biasanya mempunyai pola pikir dan cara hidup yang berbeda dengan orang lainnya.
Pemimpi
Sosok yang kreatif biasanya terkesan tenggelam dalam dunianya sendiri. Mereka bergelut dalam alam pikiran yang memungkinkan segala sesuatu terjadi. Inilah yang membuat orang-orang kreatif cenderung melamun. Saat melamun atau merenung, orang kreatif biasanya bergelut dengan pikiran, angan serta impiannya sendiri.
Individualitas
Karena cenderung lebih banyak menghabiskan waktu di dalam pikiranya, orang kreatif cenderung dianggap peyendiri atau individualitis.
Emosi naik-turun
Banyak orang menganggap orang kreatif emosional dan sensitif. Ini karena perubahan emosi pada orang-orang kreatif cenderung lebih cepat dibandingkan orang biasa. Orang kreatif banyak menggunakan perasaan dalam menciptakan karya seni atau memunculkan ide-ide baru. Murung, sedih, gembira, kagum, marah, dan bosan mudah dialami dalam sehari. Bahkan, karena mudah kagum dan sensitif terhadap sesuatu, orang kreatif cenderung dianggap kekanak-kanakan.
Mudah bosan
Orang kreatif termasuk penggemar fleksibilitas. Mereka kurang menyukai kehidupan yang serba teratur atau kegiatan yang monoton. Itulah yang membuat orang kreatif cenderung mudah bosan ketika mengerjakan sesuatu. Mereka bisa bekerja dengan cepat dan lincah. Namun, orang kreatif cenderung kurang menyukai pekerjaan yang sama dalam waktu yang lama. 
*diambil dari berbagai sumber (Banyak :) )

Minggu, 21 Juni 2015

Mahasiswa ?

Apa artinya 'menjadi mahasiswa' saat ini?
Ketika saya masih aktif sebagai mahasiswa, ada satu citra yang sering didengung-dengungkan oleh birokrat kampus tentang mahasiswa: berprestasi, menang PKM, tidak demo, selalu optimis, tidak kritis, dan patuh pada aturan-aturan rektorat.
Di kantor Rektorat, jangan harap ada aktivitas diskusi keilmuan kritis atau pembangunan pengetahuan. Yang ada ialah petugas 'sangar' yang menjaga proposal UKM atau bantuan kemahasiswaan, berbagai spanduk dan poster tentang mahasiswa berprestasi atau PKM, prosedur pengajuan proposal, hingga birokrat yang siap 'tanda tangan' pada proposal mahasiswa.

"Di kantor Rektorat, jangan harap ada aktivitas diskusi keilmuan kritis atau pembangunan pengetahuan"

Ungkapan yang hadir di sana pasti akan bernada prestatif: Semakin berprestasi mahasiswa (dilihat dari penghargaan/anugerah yang ia terima), maka ia akan semakin bernilai di hadapan rektorat atau Direktorat kemahasiswaan.
Model Mahasiswa Masa Kini?
Pemaknaan mengenai ''mahasiswa' ini menjadi semacam diskursus hegemonik di perguruan tinggi akhir-akhir ini. Di banyak perguruan tinggi, diskursus semacam ini dimunculkan untuk meredam gejolak aktivismer mahasiswa yang seringkali kritis terhadap kebijakan kampus.
Gerakan mahasiswa memang memiliki kecenderungan untuk 'terlibat' dalam kegiatan yang dinilai oleh kampus bersifat politis, seperti protes, demonstrasi, atau semacamnya.
Tentu saja, kampus memiliki kepentingan untuk mendepolitisasi mahasiswa. Jalan untuk mendepolitisasi tersebut, alih-alih merepresi aktivitas kemahasiswaan seperti era 1980an, adalah dengan menerapkan diskursus tandingan tentang 'mahasiswa'.
Saya ingin meminjam sedikit istilah dari Michael Foucault tentang governmentality. Dalam "The Birth of Biopolitics" (2001), kumpulan ceramah Foucault di College de France 1978-79, Foucault memperkenalkan istilah governmentality untuk membongkar praktik kekuasaan pada pemerintahan/pembangunan.

"Jalan untuk mendepolitisasi tersebut, alih-alih merepresi aktivitas kemahasiswaan seperti era 1980an, adalah dengan menerapkan diskursus tandingan tentang 'mahasiswa'"

Istilah ini kemudian ia pertegas dalam tulisannya yang lain yang lebih spesifik, “Governmentality” (terbit 1991). Menurut Foucault, government adalah sebuah fenomena, eksistensi, atau regularitas yang lahir dari mekanisme yang terkondisikan dengan baik (intelligible mechanisms) untuk satu tujuan tertentu.
Praktik dari governmentality berbeda dengan disiplin atau hukuman, dimana seorang subjek dikondisikan dengan aturan-aturan tertentu atau 'dihukum' jika tidak sesuai dengan aturan tersebut.
‘governmentality’ adalah upaya untuk mengatur dengan menyediakan kondisi-kondisi yang menyebabkan seseorang dapat hidup pada norma-norma yang ditentukan oleh negara. Institusionalisasi norma menjadi target dari ‘governmentality’, sehingga seorang subjek warga negara bisa hidup dan "will do (something) as they ought" (lihat Tania Murray Li, The Will to Improve, 2007).
Meminjam istilah Foucault ini, potret diri mahasiswa yang ditampilkan oleh rektorat adalah representasi dari kepentingan rektorat terhadap mahasiswa. Rektorat ingin meng-govern mahasiswa, tentu saja tidak dengan pola lama 'disiplin dan hukuman', tetapi juga dengan memberikan norma baru yang memungkinkan mahasiswa mengikutinya secara sukarela.
Diskursus mengenai mahasiswa, sebagaimana versi banyak birokrat kampus (mungkin sampai sekarang) adalah diskursus tentang ‘prestasi’ dan pribadi yang baik. 'Mahasiswa' sebagai sebuah identitas, jika meminjam Laclau dan Mouffe, adalah subjek yang tak pernah final. Ia selalu berada pada dislokasi, tarikan dari pemaknaan satu ke pemaknaan lainnya.
Tahun 1980an, strategi yang dilakukan oleh pemerintah dan juga universitas adalah dengan "discipline and punish". Waktu itu, banyak mahasiswa yang di-DO karena menentang kebijakan pemerintah atau keputusan kampus, juga yang ditangkap karena demonstrasi. Mendikbud waktu itu Daoed Joeosoef, melakukan praktik pendisiplinan melalui kebijakan NKK/BKK, penutupan Dewan Mahasiswa dan depolitisasi mahasiswa di tingkat fakultas.
Keputusan ini efektif untuk mendepolitisasi mahasiswa. Pasca-reformasi, tentu saja model represi seperti ini tidak bisa dilakukan, apalagi dengan demokratisasi serta menurunnya peran negara dalam pengaturan kampus. Mahasiswa yang juga sempat menguat di akhir 1990an juga kemudian mengubah pola pendisiplinan menjadi pengaturan (governing).
Tetapi, kalau dibandingkan, dua pola di atas tak jauh bebeda dari segi substansi. Diskursus tentang mahasiswa yang prestatif tentu saja memberikan sebuah kulturbaru mahasiswa, agar menjauhi aktivitas yang berbau politis.
Alternatifnya adalah prestasi akademik yang didapat dalam nuansa ‘akademis’ yang ‘kompetitif’. Dilancarkanlah berbagai kegiatan pengembangan soft skill, semisal dengan PKM, pengembangan karakter, mahasiswa berprestasi, dan lain sebagainya.
Menulis untuk Program Kreativitas Mahasiswa memang baik untuk pembelajaran riset. Namun, pertanyaannya, apakah menulis PKM dilakukan dengan intensi pengetahuan atau dengan motif ekonomis? Apa capaian teoretik dan implikasi kritis yang bisa dihasilkan (ini jika menggunakan critical theory) Apakah mengikuti program pengembangan karakter membuat mahasiswa bisa terlibat dalam penanggulangan masalah-masalah real di masyarakat, misalnya soal pembebasan tanah di Kulon Progo untuk kepentingan tambang besi atau semacamnya?

"Namun, pertanyaannya, apakah menulis PKM dilakukan dengan intensi pengetahuan atau dengan motif ekonomis?"

Sejauh yang saya lihat, program-program semacam ini menyimpan satu makna: jika ingin berprestasi dengan dapat uang, maka buatlah penelitian. Orientasinya, tentu saja, adalah memajukan prestasi universitas di kancah nasional melalui PIMNAS.
Namun, program ini sekaligus juga mengeksklusi pemaknaan penelitian yang 'kritis', misalnya yang berpretensi pada upaya membongkar relasi-relasi kekuasaan atau yang bersifat 'politicized'.
Sehingga, terlihat bahwa akan sangat jarang PKM yang bersifat kritis, membongkar perilaku-perilaku masyarakat, negara, atau kampus dalam relasinya dengan masyarakat. Hal berbahaya jika hal ini terjadi ke depan adalah kita akan mendapati peneliti, dosen, atau profesor dengan mentalitas ‘proyek’ –tanpa idealisme, kapasitas teori yang tajam, dan produktivitas dalam berkarya.
Ini mungkin ekstrem, tetapi bukan tidak mungkin terjadi jika pemaknaan tentang PKM didominasi oleh cara pandang birokratis.
Meminggirkan Aktivis
Saya tidak menolak aktivitas semacam PKM, Soft Skill, Pengembangan Karakter, atau Mahasiswa Berprestasi. Meloloskan proposal penelitian dalam bentuk UKM tentu adalah aktivitas yang sangat positif untuk pembelajaran mahasiswa yang ingin menjadi peneliti.
Pengembangan karakter dalam Konferensi ke luar negeri juga baik agar pertukaran pengetahuan dapat berlangsung. Menjadi mahasiswa berprestasi adalah keharusan.
Yang perlu jadi catatan: jangan menganggap hal-hal semacam itu sebagai ukuran tunggal prestasi. Ada banyak ukuran lain yang terpinggirkan karena tidak diakomodasi oleh dunia akademik di Indonesa.
Ini yang jadi persoalan. Dengan pemaknaan semacam ini, kita kadang menganggap mereka yang sibuk berdemonstrasi, belajar mengorganisasi petani di desa, mengadvokasi uang kuliah murah, atau berwirausaha untuk menghidupi diri sebagai orang yang tidak prestatif.
Padahal, mereka juga berprestasi dalam ukuran yang lain. Celakanya, konstruksi pemaknaan seperti ini yang terkadang dipahami oleh birokrat-birokrat akademik di kampus.
Kita bisa lihat politik inklusi/eksklusi ini pada program atau kegiatan lain. Dengan praktik politik inklusi/eksklusi ini, diskursus tentang mahasiswa versi rektorat membelah mahasiswa menjadi "yang nakal" dan "yang pintar". Yang pintar adalah mereka yang berprestasi, memajukan nama kampus di level nasional/internasional, serta dapat menjadi "model" bagi mahasiswa lain.
Secara tidak sadar, mereka digunakan oleh kampus untuk menginstitusionalisasikan norma yang diberikan kampus pada mahasiswa. "Prestasi" menjadi alat/instrumen governmentality, yaitu ketika institusi universitas mengatur mahasiswa dengan cara memberikan cara agar mahasiswa bisa melakukan sesuatu yang digunakan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan keinginan/kehendak kampus.
Seperti kata Tania Murray Li, "...educating desires and configuring habits, aspirations and beliefs.."
Bagi mahasiswa baru, tentu saja format pemaknaan ini akan menjadi format pemaknaan yang diterima. Akan tetapi, diskursus tentang "mahasiswa pintar" takkan beroperasi tanpa adanya praktik eksklusi pada arena diskursivitas tersebut, yaitu "mahasiswa nakal".
Yang disebut oleh kampus sebagai mahasiswa 'nakal' atau bandel ini, dalam arahan peta pengembangan SDM universitas, adalah mereka yang terlibat demonstrasi, mereka yang terlibat gerakan-gerakan kritik terhadap pemerintah, atau mereka yang membangkang terhadap kebijakan rektorat.
Jika seseorang tidak sesuai dengan norma yang telah diinstitusionalisasikan, ia bisa saja didisiplinkan dan dihukum agar 'sadar' dan kembali pada sistem kekuasaan dimana diskursus yang dikehendaki oleh pemilik kekuasaan beroperasi.
Dalam konteks kampus, mereka yang membangkang pada modus kekuasaan rektorat akan didisiplinkan dengan pengarahan, sehingga bisa direhabilitasi menjadi 'mahasiswa' yang benar dalam versi universitas.
Dengan demikian, kita bisa melihat bagaimana diskursus tentang 'mahasiswa nakal' dan 'mahasiswa pintar' diciptakan untuk menghegemoni pemaknaan tentang 'mahasiswa' dan dengan demikian mengatur (governing) mahasiswa secara keseluruhan.

"Reproduksi dari diskusus 'mahasiswa pintar' tersebut dilakukan untuk menjaga agar hubungan kekuasaan yang subordinatif antara universitas dan mahasiswa tetap berada pada kondisi yang diinginkan oleh universitas"

Dalam karya Foucault, sudah tentu aktivitas governmentality itu adalah aktus kekuasaan. "power is exercised from innumerable points", kata Foucault dalam The History of Sexuality (1990). Kekuasaan itu diciptakan dalam poin-poin yang tak terhitung, kondisi ketaksadaran, dan dalam hubungan yang nonegaliter antarsubjek.
Reproduksi dari diskusus 'mahasiswa pintar' tersebut dilakukan untuk menjaga agar hubungan kekuasaan yang subordinatif antara universitas dan mahasiswa tetap berada pada kondisi yang diinginkan oleh universitas. Atau, dengan bahyasa yang lebih sederhana, agar mahasiswa tak lagi menjadi ancaman bagi kekuasaan yang beroperasi di universitas.
Universitas sebagai Arena Kekuasaan
Di sini, kita bisa lebih dalam melakukan penelaahan. Universitas bukanlah institusi yang lepas dari perebutan kuasa. Ada banyak relasi kuasa yang saling bermain, beroperasi di kampus. Dalam titik tertentu mereka juga menggeret mahasiswa untuk masuk dengan berbagaibentuk,. Maka dari itu, kesadaran kritis mahasiswa menjadi diperlukan.
Seperti kata Foucault, pengetahuan adalah arena dimana kekuasaan itu beroperasi. Mahasiswa dan intelektual kampus perlu membangun diskursus tandingan. Mungkin, dengan menyatakan bahwa 'menjadi mahasiswa' bukan berarti tidak kritis, melainkan juga bisa menjadi alat untuk mengabdi kepada mereka yang terpinggirkan, memperjuangkan mereka yang tertindas, serta membongkar realitas sosial yang timpang oleh praktik-praktik kekuasaan, dengan pengetahuan.
Inilah kiranya pekerjaan rumah bagi aktivis mahasiswa saat ini. Menjadi mahasiswa tentu bukan berarti (hanya) mempersiapkan diri menjadi buruh berkerah putih yang siap pakai setelah lulus. Menjadi mahasiswa adalah menyiapkan diri menjadi intelektual.
Bagi kaum intelektual, terutama yang berdomisili dikampus, ini jadi tantangan. Jika ingin mencetak peneliti, kita harus mentradisikan iklim akademik yang sehat, dan tentu saja: bukan sekadar a matter of business.  
Karena pengetahuan adalah kekuasaan, kawan !!!

Rabu, 05 November 2014

MODERN KALAM SCIENCE THOUGHTS

CHAPTER I

INTRODUCTION

 

A.  Background

                        Islam is the best religious according to the Qur’an which guanteed by Allah SWT.  All of aspect also discussed in Islam, one of them is Kalam science. that Kalam science is a discipline science which discuss about divinity according to rational and logic argumentation based on Islamic doctrine. Kalam science in general science popular with Islamic Theology. In this science, someone can discuss about the divinity of Allah SWT which include the characters, material and essence of Allah, the possition of mind and revelation and so on.
                        Kalam science emergence after the death of the Prophet Muhammad PBUH where there are vacuum power to become leader in Islamic doctrine. As we know that the period always continue and not all of problem has explanation  in the Qur’an and the Hadith. This condition make the development of mind power of human to make a decision about newest problem which no explanation in the past. Certainly their opinion also use the Qur’an and the Hadith  to become foundation in their thought. Beside of it, only special person who can and be received about their thought. And this activities make and produce figures who can become leader in Islamic thought. And then they can make modernity to develop Islam so that can adapt with the generation.
                        The figures of Kalam science make a group in their generation and we can divide it into classical and modern era. Here, we can’t ignored that somewhat the classical also give their thought for modern thought. Because of that it is important to know about the development Kalam science in the world, especially modern Kalam science. The thought of modern  Kalam science can be used and implemented in real to solve a problem which discuss about it. Here, the writers discussed about some figures of thought of modern  Kalam science to make focuss in the discussion.

B.  Formula of Problem

1.        What is the definition of  Kalam science?
2.        What is the thought of  Muhammad bin Abdul Wahab?
3.        What is the thought of  Muhammad Iqbal?
4.        What is the thought of  Muhammad Abduh?
5.        What is the thought of  Sayyid Ahmad Khan?

C.  Purpose

1.        To know the definition of Kalam science
2.        To know the thought of  Muhammad bin Abdul Wahab
3.        To know the thought of  Muhammad Iqbal
4.        To know the thought of Muhammad Abduh
5.        To know the thought of  Sayyid Ahmad Khan



CHAPTER II

DISCUSSION

A.      The Definition of  Kalam  science

                        Kalam” science in etimology of Arabic dictionary is  القولُ =   الكلامُ which has meaning “say, speak, talk”. The other terminology is Islamic theology, which take from English, theology. William L. Reese defined theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of  both philosophy and science[1]. In other that, Gove said that theology is explanation about faithful, deed, and religious rational experience[2].
                        Beside of that, in terminology, Kalam science is a science which discuss about deity problems through logic argumentation and philosophy. The definition of Kalam  science has some definitions, are :
1.    Mustofa Abdul Rozak defined Kalam science as[3]:
انَّ هذَاالعلمُ يعْتمد علَى البرَاهِيْنَ العَقلِيَّة فيمَا يَتعلَّقُ بِا العَقا ئدِ الاِيمَانيّة ايِّالبحْثُ فىالعقَائدِ الاسلاَميَّةِ اعتمادًا على العَقْلِ
“This science (Kalam science) has relation with aqidah imani in fact founded by rational argument or science which has relation with Islamic aqidah which started at logic”
2.    Al-Farabi[4]
الكلاَمُ علمٌ يُبحَثُ فيه عن ذاتِ اللهِ تَعالى وَصِفاتهِ واحوالِ المُمكناتِ منَ المبْداء واامعَاد على قَانُون السلآمِ والقَيدِ الاخيرِ لإخْراجِ العِلمِ الإِلهيِّ لِلفلاسفَةِ
Kalam  science is a disciplin science which discuss about material and character of Allah and His existence of all possibilities, started with world problem until after dead problem based on Islamic doctrine. Finally, the stressing is producting divinity science in philosophy.
3.    Ibnu Khaldun defined Kalam science as[5]:
هُوَ عِلْمٌ يَتَضَمَّن الحجَّاجَ عن العَقائد الايما نِيّةِ باِلأدِلّةِ العَقليّةِ
            Kalam  science is a disciplin science which concerned some argumentations about aqidah imani which reinforced by rational propositions.
                        From the definition above, we can know that Kalam science is a discipline science which discuss about divinity according to rational and logic argumentation based on Islamic doctrine.

B.       The Thought Muhammad Bin Abdul Wahab

1.         Biography of Muhammad bin Abdul Wahab

          Muhammad bin Abdul Wahab was born in 1115 Uyinah in the town part of the city of Najad. During studying in Medina the teacher felt his future was concerned that, because of the sometimes extreme statements and incorrect ending of lisannya, to the extent that they say, "If Muhammad bin Abdul Wahab go for preaching, definitely he will mislead some people."While his father was still alive, Muhammad bin abdul Wahab is a type of a reticent, but after his father died in 1153, curtains that block his conviction was revealed.

          Two aspects that help spread the Da'wah Muhammad bin Abdul Wahab applied to arab communities in the midst of Najad, namely:

a.    Support the political system family Su'ud.

b.    Distance from civilization Najad society, science and the authenticity of the teachings of Islam.
          Thought of Muhammad Ibn Abdul Wahab with a purification slogan of unity and resistance to shirk is slowly undergoing development even managed to attract people's attention away from such najad Amir Muhammad bin Ismail San'ani (1099-1186) author of "Subulussalam" in syarahnya (Bulughul murom) who receive and follow his teachings.

2.    The Kalam’s  thought of Wahabi school
                 Familiar with the Salafi wahabi Foundation of thought against all forms of change in the life of mankind. When Abdul Aziz bin Abdurrahman in 1344 Q became ruler of the two sacred haram (Makkah al-mukarramah and madinah al munawwarah), had to be constructed and set up the system of Government in accordance with the model of governance in General when it is and changing patterns of life habits in accordance with the wahabi Saudi Baduy-Najad.
                 And he approved the import of products of modern technology when it is like the Telegraph, telephone, bicycle, car and etc. This fire burns and his anger his followers who muta'shib, led to the bloody tragedy of famous events in the history of the events of "bloody Akhwan".
                 Ahmad Amin, Egypt, when the writer discusses the Wahabi group, said that the thought of this thriving now wahabi in fact 100 percent opposite thought wahabi in the past. Ahmad Amin wrote: "Wahabi refused new civilizations and new civilizations and modern demands, a majority of them believe that only Negaranyalah as Muslim countries, while other countries are not Islamic countries because these countries have created an innovation even distribute it and compulsory for their fight against the State.
                 Ibn Sa'ud during his reign, he faced two great powers and no other way except must choose one of them: first, the nobles of religion living in Najad have roots thought of Muhammad bin Abdul Wahhab who rejected all forms of hardware with changes and new civilizations. Second; a new civilization in the current system of rule is very membutuhakn the tekhnoligi modern tools.
                 The Government, take the Middle Road of both these powers by way of the Islamic countries recognize the other as Islamic countries and also in addition to reviving the teaching of their religion also provide teaching of modern civilization and setting up the system of Government based on the modern system of Government. Fortunately the Saudi leaders had tired of serving the way of thinking and dried rules and rigid thinking wahabi distancing Muslims from the sunnah and the entire historical legacy of Muslims and destroy their holy sites place also denied all forms of new discoveries and consider it as a heresy.[6]
                 The core teachings of the wahabiini are:
a.         Divinity of the one true God and absolute
b.        Return to the true teachings of islam
c.         Cannot be separated from the Act of trust, such as prayer and Almsgiving
d.        Believe that the Quran is not a human creation
e.         A real belief in the qur'an and Hadith
f.         believe in destiny
g.        Condemn all views and actions that are not correct
h.        Set up an Islamic State based on Islamic law that exclusively[7]

C.      The Thought Muhammad Iqbal

1.         Biography of Muhammad Iqbal
          Muhammad Iqbal was born in Sialkot in 1873. He comes from a family of Brahmin caste of Khasmir. His father was the famous Nur Muhammad saleh. His first teacher was his father and then he put a every to learn Qur'an. Muhammad Iqbal was born in Sialkot in 1873. He comes from a family of Brahmin caste of Khasmir. His father was the famous Nur Muhammad saleh. His first teacher was his father and then he put a every to study the Quran.
          After that, he entered the Scottish Mission School. Under the guidance of Mir Hasan, he was given the lessons of religion, Arabic, and Persian. After completing his schooling in Sialkot, his Ascension goes to Lahore, a major city in India to continue his studies at Government College, where he met Thomas Arnold, who became a professor in philosophy at the University.
          While studying in the city of India, he offers some thought-provoking concepts such as, the necessity of development of ijtihad and dynamism of Islam. This thinking emerged as a form of sepakatnya to the development of the Muslim world nearly six centuries. The position of the Muslims suffered a setback. On the development of Islam in the last six, administered from Canberra by the Muslims in the neighborhood kejumudan caused the destruction of Baghdad as a symbol of civilization, science and religion in the mid-13th century.Two years later he pindak to Munich, Germany. In this University, he obtained his Ph.d in Sufism with his dissertation entitled The Development of Metaphysics in Persia (the development of Metaphysics in Persia).
          He more or less lived in Europe for three years. Upon his return from Munich, he became an advocate and also as a lecturer. A book entitled The Recontruction of Religious Thought in Islam is a collection of ceramah-ceramahnya since 1982 and is the greatest work in the field of philosophy.
          In the 1930s, he entered politics and became Chairman of the Muslim League annual Conference in Allahabad, in 1931 and later in 1992, he participated in the round table conference in London to discuss a new Constitution for India. In October 1933, he was in Afghanistan to discuss the formation of the University of Kabul. In 1935, he became sick and grew worse after his wife died in it anyway, and he died on April 20, 1935.[8]

2.         The Kalam’s Thought of Muhammad Iqbal
          Islam in his view rejects the old concept that nature is static. Islam, he says, maintaining a dynamic concept and acknowledge the motion changes in the social life of human beings.
          Therefore, humans with the ability to create his khudi changes. The magnitude of the award he was against the motion and this change brought a dynamic understanding of the Qur'an and Islamic law. The purpose of diturunnya Al-Quran, according to he was raised so that human consciousness is able to translate and explain the passages of the Qur'an are still global in the reality of life with the ability of human reason and human dynamics that are always changing. Here's what the formula of fiqh are called ijtihad, which he called as the Islamic principles of motion in structure.
          Therefore, to restore a spirit of dynamism and rigidity and dump the Islamic stagnancyof  Islamic law, ijtihad has to be redirected into collective ijtihad. According to him, the transition of authority individuals who represent the ijtihad of certain Islamic legislative institutions is the only form that is most appropriate for the moving spirit in the system of Islamic law that has been missing from the Muslims and calls upon Muslims to receive and develop the results of the realism.As the majority view of scholars, he split the ijtihat qualification into three levels, namely:
1)        Full authority: in deciding legislation that is practically limited to the founder of the madhhab-madhhab only
2)        Relative Authorities: who is only done in a certain boundaries from one madhab
3)        Special Authority: relating to the determination of the law in the case of certain cases with no bound on the provisions of the founders.



a.         Nature of Theology
   Generally speaking he sees theology as a science berdemensi the faith, basing on the essence of monotheism (universal and inklusivistik). Inside there is a soul that moves in the form of "equality, solidarity and kebebasmerdekaan". His views on theological ontology makes it managed to see anomalies (storage) attached to the literature of classical kalam science.
b.        Proof of God
   In proving the existence of God, he rejected the argument of the cosmological or ontological. He also rejected the argument that teleologis trying to prove the existence of God that governs his creation from the outside. Nevertheless, he received the imamen teleologis Foundation (persists). To support this, he refused a static view of the matter and accept the view of him as a structure of the Whitehead incident in dynamic flow does not stop. Real characters that concept found him in "a period of pure" his Bergson, who was not reached by the time series. In "a period of pure", there is a change, but there is no succession (replacement).
c.         Human identity
   Understand the dynamism of his influential contribution to human identity. A search of his opinion about this issue can be seen from the concept of the ego, the central idea in the thought of philosophical vindication. The word was interpreted with personality. Humans live to know his personality as well as strengthen and develop bakat-bakatnya, not vice versa, namely her personal debilitating, as done by the Sufis who subdues the soul so that mortal with God.
d.        Sin
   He is expressly stated in the Qur'an that the quality is showing the teachings about the freedom of the human ego that is creative. In this connection, he developed the story of the fall of Adam (because of eating the forbidden fruit) as the story contains a lesson about the "rise of the primitive condition of man in the instinctive desires to control the possession of free personality that he consciously, thus able to overcome indecision and tendency to disobedience" and "the onset of the limited ego has the ability to have".
e.         Heaven and Hell
   Heaven and hell, says he is a State, not a place. Figures about both in the Qur'an is the appearance of an inner reality-appearance visually, that is its nature. Hell, according to the formula of the Qur'an is "the fire of God burning and soaring to the top of the heart", a painful statement about human failure. Heaven is a joy because getting the victory in overcoming various impulses that led to the split.[9]

D.      The Thought of Muhammad Abduh

1.         Biography of Muhammad Abduh[10]
          Muhammad Abduh was born on Mahallat Nashr village Al-Buhairah district, Egypt in 1894. His fullname is Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. He didn’t come from rich people or blue blooded. At first, he was sent by his father to Al-Ahmadi mosque, Tanta. Because of the education system make bored, he only study for 2 years and go back home with his brothers become farmer. When he went home, he got married and in this time, he is 16 years old. He won’t continue his study, but from his uncle’s support, Syekh Darwish, he come back to study. Syekh Darwish is someone who give much influence gor his life before meet Jamaluddin Al-Afghani. Because of his merit, Abduh said “...he give me freedom for the prison of ignorance”. After he graduated from Thanta, he continued his study in Al-Azhar University on Phebruary 1866.
          In 1871 Jamaluddin Al-Afghani came to Egypt. When it happens, Abduh still become student. Abduh always come to Al-Afghani’s meeting and he become Al-Afghani’s favorite student.  Al-Afghani also support Abduh to become active to write in social and politics. His modernity article majority published in  Al-Ahram journal, Cairo.
          Muhammad Abduh also become editor in state jurnalism of Egypt Government Al-Waqa’I Al-Mishriyyah in 1880, become director in Al-Waqa’i journalism in 1882 and published  al-Urwah al-Wusqa journal  in 1884.
          His creation which pulished in journal or magazine majority required for freedom of thinking and modernity. His opinion directed into fiqh scholar who debate about furu’iyyah problems. He  has purposed to found Pan-Islam to fight West colonization, especially United Kingdom. In 1885,  Abduh commanded by its journal to go United Kingdom to meet national figures which has sympathy to Egypt people. In 1899, Abduh  become  Mufti in Egypt and get this position after he was dead in 1905.
2.         The Kalam’s Thought of  Muhammad Abduh
          There are some thoughts of Muhammad Abduh, are:
a.         The position of mind and revelation
There are 2 main problems which become focused of main thought Muhammad Abduh, are[11]:
1)        Declared of mind from taqlid fetter which make decrease of religious science development as it’s right of salaf al-ummah before the emergence of disunity; are direct understanding from themain source, AL-Qur’an
2)        Repaired the style of language, both in daily conversation in the government offices or writing in mass media.
   Two main problems above emergence when he saw rhe development of Islamic people in his generation. As the explanation of Sayyid Qutub where the condition of Islamic people as “ a society which frozen and rigid, closed the door of ijtihad, ignored the role of mind in understanding syari’at  of Allah or do istinbath  the laws, because they feel enough about the creation from the past generation.
   Based on two focusses of his thought, Muhammad Abduh give big role for mind. According to Muhammad Abduh, mind can know:
1)        The God and His characters
2)        The possition of life in the hereafter
3)        Happiness of soul in hereafter based on the effort to know about the God and do good attitude. And the sadness according to the attitude which won’t to know the Godand do bad attitude.
4)        Obligation to know the God
5)        Obligation to do good attitude and avoid bad attitude to reach happiness in the hereafter
6)        Laws about it’s obligation
     According to Muhammad Abduh, between mind and revelation there aren’t controversy. And both of them can adaptable. If not, there are 2 possibilities, are:
1)        The revelation has changed
2)        There are error in using logical mind
b.      The freedom of Human and Fatalism[12]
      According to abduh, beside has contemplative faculties, human also has freedom of choice, which become natural character of human. If it is loosed, he is not human again but the other creature. Human with their mind can think about their attitude and take decision with their will.
c.       The characters of God[13]
      In a risalah, he said about the characters of God. Beside about problem of that character is the essence of God or the others. He explain that all of them in the over of human capability. So that, Abduh has tendency on opinion where character is the essence of the God, although clearly said it.
d.      The absolute desire of God[14]
      Because believe in freedom and capability of human, Abduh saw that the God hasn’t absolute character. The God has limited His desire with give freedom and power for human in create their deeds.
      Absulute desire of God also limited by general sunnatullah. And impossible deviate from His sunnatullah which has determined.
e.       The justice of God[15]
      Because ive big power in mind and freedom of human, Abduh has tendency to understand and observe this world not only from the absolute desire of God  but also from view and interest of human. He has opinion that this world created for human interest and none of creature which didn’t bring advantage for human.
f.       Anthropomorfism
      Because of God is in spiritual world, ratio can’t receive doctrine that Human has physical characters. Abduh give big power in mind, he has opinion that impossible the essence and characters of God take the shape and soul of this nature. The word of face, hand and so on must be understood according to the definition which given from Arabic people for Him.
g.      Saw the God
      Muhammad Abduh didn’t explain his opinion about God has spiritual character which can be seen by human with their eyes in counting day after or not. He only said that someone who belief in tanzih  accepted that the God can’t explain with words or conversations. The capability to see the God only given for special person.
h.      God deed
      Because of his opinion that there are God deed which obliged, Abduh has same opinion with Mu’tazilah in said that it is obliged for the God to do the best for human.

E.       The Thought of Sayyid Ahmad Khan

1.         Biography[16]
          Sayyid Ahmad Khan is generation of Husein, the granchild of the Prophet Muhammad PBUH and was born on Delhi in 1817 M.  He studied about religious science and studied about Arabic and Persian. He is someone who like to read books. When he is youth, he work in East Indian company and work as judge. But when in 1846, he came back to his mother city  in Delhi. In this place he can use his time to study and consort with figures, religious scholars and studied and understand about religious inheritance the golden era of Islam like Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin.
          In Delhi, Sayyid Ahmad Khan begin to create where the first creation is Asar As-Sanadid. And in 1855, he moved into Bijnore, where in this place he still create important book about the history of India, in  1861, he was founded an United Kingdom school in  Muradabad. And in 1878, he also founded  Mohammedan Angio Oriental College ( MAOC ) in Aligarh which the best creation and influenced the development of Islam in India
  1. The Kalam’s Thought of Sayyid Ahmad Khan
            There are some thought of  Sayyid Ahmad Khan, are:
a.       The possition of mind and revelation[17]
      Sayyid Ahmad Khan give big reward for mind, althought he as Islamic people who piety and believe in God is the revelation, but he has opinion that mind is not everything for human and the power of mind only limit in relative
b.      The deed of the God
      He has opinion that belief, power and freedom make human become free to determine of desire and do activities according to their will. So that, his opinion like in Qadariyah, for example human given by Allah some capabilities, one of them is thinking like min. Thinking capabilities can realize human’s desire according their will.
c.       The opinion about taqlid
      Islamic people who lived in India get degeneration and decrease as Sayyid Ahmad Khan opinion because they didn’t follow the development of period and has tendency to follow their past generation, so that he rejected taqlid doctrine.
d.      The absolute desire of God
      Sayyid Ahmad Khan has determined the character and nature (sunnatullah)  for His creature which constant and never changed. According to his opinion, Islam is religious which appropiate with natural law and Alqur’an is His revelation. So that nothing controvercy on it. He won’t in his opinion disturbed and limited by Hadith and Fiqh because everything measured by rational criticize and rejected everything which controversy with logic and sunnatullah.

chapter iii

conclusion

                       
                        Kalam science is a discipline science which discuss about divinity according to rational and logic argumentation based on Islamic doctrine. This science famous with Islamic  Theology. Kalam science always development in the world to adapt the generation, from classical until modern. There are some figures of Kalam science, are Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh and Sayyid Ahmad Khan.
                        Muhammad bin Abdul Wahab in his Kalam science discuss about divinity of the one true God and absolute, return to the true teachings of islam, cannot be separated from the act of trust, such as prayer and almsgiving, believe that the Quran is not a human creation, a real belief in the qur'an and Hadith, believe in destiny, condemn all views and actions that are not correct and a set up an Islamic State based on Islamic law that exclusively. Muhammad Iqbal in his Kalam science discuss about nature of theology, proof of God, human identity, sin, heaven and the hell. Muhammad Abduh in his Kalam science discuss about the position of mind and revelation, the freedom of human and fatalism, the characters of God, the absolute desire of God, the justice of God, anthropomorfism, saw the God and God’s deed. And Muhammad Sayyid Khan in his Kalam science discuss about the possition of mind and revelation, the deed of the God, the opinion about taqlid,  and the absolute desire of God.
                        From the explanation above, we can know that modern Kalam science thought has tendency to discuss about the God include here the characters, the deed, the desire, the materials, and the essence. And then they discuss about the mind and revelation, include here the position, the role, the desire etc. And also  discuss about life in hereafter.


bibliography

 

Adian, Donny Gahral. 2003.  Muhammad Iqbal. Jakarta: Penerbit Teraju.
Amiruddin, Wachid.  Pengertian Ilmu Kalam, http://makalahilmukalam. blogspot.com/2011/10/eng.html. Accessed on September, 20 2014. Online.
Cock bove, Philop Bob (Ed). 1966.  Websters’s third New International Dictionary of the English language, G8c Merviam Company Publishers Reese, William L. 1980. Dictionary of  Philosophy and Religion. USA: Humanitas Press Ltd.
Muhammad, Herry dkk. 2006. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani.
.Rizki, Ahmad. Ilmu Kalam Pemikiran Kalam Ulama Zaman Modern, http://blogkilas.blogspot.com/2014/01/ilmu-kalam-pemikiran-kalam-di-kalangan.html, accessed on September, 20 2014, Online.
Rozak, Abdul. 2006.  Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.



[1] William L Reese, Dictionary of philosophy and religion, (Humanitas Press Ltd: USA, 1980), page 28.
[2]Philop Bob Cock bove (Ed), Websters’s third New International Dictionary of the English language, G8c Merviam Company Publishers, 1966, page 2371
[3]Wachid Amiruddin, Pengertian Ilmu Kalam, http://makalahilmukalam.blogspot.com /2011/10/eng.html, accessed on September,20 2014. Online.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[7]Herry Muhammad dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), page  246.
[8] Donny Gahral Adian, Muhammad Iqbal, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2003), hlm 22-23
[10]Abdul Rozak,Ilmu Kalam, (CV Pustaka Setia : Bandung, 2006), page 211.
[11] Ahmad Rizki, Ilmu Kalam Pemikiran Kalam Ulama Zaman Modern, http://blogkilas.blogspot.com/2014/01/ilmu-kalam-pemikiran-kalam-di-kalangan.html, accessed on September, 20 2014, Online.
[12] Abdul Rozak,Ilmu Kalam, page 214.
[13] Ibid, page 215.
[14] Ibid.
[15] Ibid, page 216.
[16] Mochamad Soef, Pemikiran Kalam Ulama Modern (Sayyid Ahmad Khan), http://soef47.wordpress.com/2009/10/14/pemikiran-kalam-ulama-modern-sayyid-ahmad-khan/, accessed in September, 20 2014, online.
[17] Ibid.