oleh :
MUSYRIF KAMAL J. HAQ
MAHASISWA UIN MALIKI MALANG
JUDUL :
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN
BELANDA DAN JEPANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang Masalah
Meneliti sejarah bangsa Indonesia
tidak akan lepas dari umat islam, baik dari perjuangan melawan penjajah maupun
dalam lapangan pendidikan. Melihat kenyataan betapa bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam mencapai keberhasilan dengan berjuang secara tulus
ikhlas mengabdikan diri untuk kepentingan agamanya disamping mengadakan
perlawanan militer.
Perlu diketahui bahwa sejarah
pendidikan islam di Indonesia mencakup fakta-fakta atau kejadian –kejadian yang
berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam di Indonesia,
baik formal maupun non formal. Yang dikaji melalui pendekatan metode oleh sebab
itu pada setiap disiplin ilmu jelas membutuhkan pendekatan metode yang bisa
memberikan motivasi dan mengaktualisasikan serta memfungsikan semua kemampuan
kejiwaan yang material, naluriah, dengan ditunjang kemampuan jasmaniah,
sehingga benar-benar akan mendapatkan apa yang telah diharapkan.
2. Rumusan Masalah
- Bagaimana pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda?
- Bagaimana pendidikan islam pada masa penjajahan Jepang?
3. Tujuan
Penulisan
Dalam penulisan makalah kami, kami
mempunyai beberapa tujuan antara lain sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui lebih dalam tentang
sejarah pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia
b. Untuk melengakapi tugas mata kuliah
“Sejarah Pendidikan Islam”.
c. berbagi pengetahuan dan semoga bisa
menjadi hal yang bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah khususnya .
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah
Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Pada mulanya kedatangan orang-orang asing Belanda ke Indonesia adalah
untuk menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Indonesia. Sambil berdagang, Belanda
berupaya menancapkan pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia. Lambat laun Belanda
berhasil memonopoli perdagangan dengan bangsa Indonesia, namun satu demi satu Belanda
berhasil menundukkan penguasa-penguasa local, kemudian merampas daerah-daerah
tersebut kedalam kekuasaannya, selanjutnya berlangsung system penjajahan,
disamping sebagai bangsa penjajah, pada umumnya mereka menganut fikiran
Achivelli yang menyatakan antara Lain :
1.
Agama sangat diperlukan
untuk pemerintahan penjajah
2.
Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan
rakyat
3.
Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama
bersangkutan harus dibawa untuk memcah belah dan mereka berbuat untuk mencari
bantuan kepada pemerintah
4.
Janji dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan
5.
Tujuan dapat menghalalkan segala cara[1]
Pemerintah Belanda mulai menjajah
Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu jean Pieter Zoan Coen menduduki Jakarta [2]
kemudian Belanda satu demi satu memperluas jangkauan wilayah jajahannya dengan
menjatuhkan penguasa-penguasa di daerah-daerah. Misalnya mereka berhasil
memecah belah kerajaan mataram – setelah wafatnya sultan agung- Belanda lalu
memberlakukan kolonialisme atas seluruh kekuasaan mataram. Di daerah-daerah
lainpun terjadi hal yang sama yakni penguasaan daerah oleh Belanda, disistem
yang di bentuk Belanda ini penguasa suatu daerah (sultan/raja) masih diakui,
tetapi ia hanya menjadi figur pemimpin yang tidak punya kekuasaan apa-apa
dengan demikian maka semua system baik politik, ekonomi, sosial budaya sudah
berada ditangan penjajah. Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan
beragama, sesuai dengan prinsip
kolonialisme, westernisasi, dan kristenisasi.
Sejak zaman VOC kedatangan mereka di
Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak aktroi VOC
terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagai berikut :” badan ini harus berniaga
di Indonesia dan bila perlu boleh berperang, dan harus memperhatikan perbaikan
agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.
Ketika van den boss menjadi gubernur
jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah
gereja dianggap diperlukan sebagai sekolah pemerintah, sementera itu gubernur
jenderal van den cappelen pada tahun 1819 mengabil inisiatif merancang
berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintahan
Belanda. Sekolah ini bertujuan untuk menandingi pendidikan islam yang ada di
pondok-pondok pesantren, masjid, musholla dan lain sebagainya yang dianggap
tidak membantu pemerintahan Belanda. Para santri masih dianggap buta huruf
latin.
Pada salah satu point dalam angket
yang ditujukan kepada bupati-bupati berbunyi sebagai berikut :” apakah tuan
bupati tidak sepaham dengan kami bahwa pendidikan berguna adalah jenis
pendidikan yang sesuai dengan rumah tangga desa”.
Jadi jelaslah bahwa madrasah
pesantren dianggap tidak berguna. Dan tingkat sekolah pribumi adalah rendah,
sehingga disebut sekolah desa, dimaksudkan untuk menandingi madrasah, pesantren
dan pengajian yang ada didesa itu.
Kehadiran Belanda di Indonesia tidak
hanya mengeksploitasi kekayaan alam dan memonopoli pendidikan Indonesia tetapi
juga menekan politik dan kehidupan keagamaan rakyat Indonesia. Belanda terus
menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak pengalaman agama islam,
contohnya, yang pertama, Belanda membentuk lembaga yang bernama Priesterraden[3],
atas nasehat dari badan inilah pada tahun 1905 pemerintah mengeluarkan
peraturan yang isinya bahwa orang yang memberi pengajaran (membaca pengajian)
harus meminta izin terlebih dahulu. Yang kedua yaitu ibadah haji dibatasi dan
jamaah haji yang pulang ke Indonesia diawasi dengan ketat untuk mengantisipasi
para Haji ini yang dapat membangkitkan semangat perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
[4]
Kebijakan Belanda ini berakibat
pengajaran nilai-nilai islam dan peningkatan keberlakuan islam menjadi
tersendat, meski demikian Belanda tetap khawatir akan bahaya setiap kebencian
dan perusuhan umat islam, untuk mendapat sedikit simpati, Belanda memberi
sedikit kelonggaran yaitu tidak ada pembatasan jumlah jamaah haji,
akibatnya jamaah haji menjadi melonjak
dan berlipat-lipat, jamaah haji yang pergi ke tanah suci tidak hanya
menjalankan haji tetapi juga memperdalam ilmu pengetahuan agama, sehingga pada
saat mereka pulang ke kampong halaman, ini sangat bermanfaat bagi pengajaran
islam, sehingga terjadi pelonjakan jumlah lembaga islam, berdasar statistic
resmi pemerintah tahun 1885, jumlah lembaga islam tradisional tercatat sebanyak
14.929 diseluruh Jawa dan Madura.[5]
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC
mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada
pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai
memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh
pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan
antara lain:
a.
Menjaga jarak atau tidak memihak
salah satu agama tertentu.
b. Memperhatikan keselarasan dengan
lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan
guna mendukung kepentingan colonial.
c.
Sistem pendidikan diatur menurut
pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.
d. Pendidikan diukur dan diarahkan
untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai
pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.
Maka pada tahun 1901 munculah apa
yang disebut dengan politik ETIS yakni politik balas budi bangsa Belanda kepada
Indonesia. Pencetus politik ini adalah Van Deventer, yang kemudian politik ini
dikenal juga dengan Trilogi Van Deventer. Secara umum isi dari politik ETIS ini
ada tiga macam yaitu, Education (pendidikan), Imigrasi (perpindahan penduduk)
dan Irigasi (pengairan). Yang akan dikupas adalah mengenai education atau
pendidikan.
Pada tahun 1925 pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama islam
yaitu tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pengajaran mengaji. Peraturan
itu mungkin oleh adanya gerakan organisasi pendidikan islam yang sudah tampak
tumbuh seperti Muhammadiyah, partai serikat islam, Al-irsyad, dan lain-lain.
Pada tahun 1932 keluar peraturan
pula yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada
izinnya atau memberikan pelajaran yang ntidak disukai oleh pemerintahan yang
disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Peraturan ini
dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme pada tahun 1928,
berupa sumpah pemuda. Selain dari pada itu untuk lingkungan kehidupan agama
Kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi rakyat, dan untuk menjaga
dan menghalangi masuknya pelajaran agama disekolah umum yang kebanyakan
muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut
netral agama. Bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama
sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. Dan pemerintah melindungi
tempat peribadatan agama (indesche staat regeling fasal 173-174).[6]
Jika dilihat dari
peraturan-peraturan pemerintahan Belanda yang demikian ketat dan keras mengenai
pengawasan, tekanan dan pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok pesantren
di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan islam
akan menjadi lumpuh dan porak poranda. Akan tetapi apa yang dapat di saksikan
dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat islam di Indonesia
pada zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung.
Jiwa islam tetap terpelihara dengan
baik. Para ulama dan kyai bersikap non cooperative dengan Belanda. Mereka
menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda. Mereka mengharamkan
kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan berpegang pada hadist nabi yang
artinya :”Barang siapa yang menyerupai suatu golongan maka ia termasuk golongan
tersebut” (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban) dan mereka tetap berpegang teguh pada
ayat Al-Qur’an surat Al-Mu’idah ayat 51 :
* $pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#räÏGs? yø9$# #|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGt öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# w Ïôgt tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka
Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Ma’idah :51)
Dapat diambil kesimpulan bahwa
pendidikan islam pada zaman kolonial Belanda tidak mendapat rintangan yang
sangat besar, para muslim Indonesia bisa mengatasi dengan jalan underground. hal
ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya
berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh
mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak
bekerja pada Belanda yang telah menjadi perintang kemajuan bangsa. Kenyataan
seperti ini sayang msih berlaku sampai sekarang sehingga orang-orang islam
kurang berperan dalam pemerintahan. “Hal ini tentu penyebabnya adalah
melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah
yang sangat banyak”[7]
2. Sejarah
Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Jepang
Pendidikan islam zaman penjajahan Jepang
dimulai pada tahun 1942-1945, sebab bukan hanya Belanda saja yang mencoba
berkuasa di Indonesia.
“Dalam perang pasifik (perang dunia
ke II), Jepang memenangkan peperangan pada tahun 1942 berhasil merebut
indonesia dari kekuasaan Belanda. Perpindahan kekuasaan ini terjadi ketika
kolonial Belanda menyerah tanpa sayarat kepada sekutu”[8]. “Penjajahan Jepang di
indonesia mempunyai konsep hokko ichiu (kemakmuran bersama asia raya) dengan
semboyan asia untuk asia”[9] .Jepang mengumumkan rencana
mendirikan lingkungan kemakmuran bersama asia timur raya pada tahun 1940. Jepang
akan menjadi pusat lingkungan pengaruh atas delapan daerah yakni: manchuria,
daratan cina, kepuluan muangtai, malaysia, indonesia, dan asia rusia.
Lingkungan kemakmuran ini disebut dengan hakko I chi-u (delapan benang dibawah
satu atap).
Pada babak pertama pertamanya
pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan islam, yang
merupakan suatu siasat untuk kepentingan perang dunia II. Untuk mendekati umat
islam Indonesia mereka menepuh kebijaksanaan antara lain :
a. Mengubah Kantoor Voor Islamistische
Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang
dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
b. Pondok pesantren sering mendapat
kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
c. Mengizinkan pembentukan barisan
Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di
bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
d. Mengizinkan berdirinya Sekolah
Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan
Bung Hatta.
e. Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan
Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman
kemerdekaan
f.
Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus
beroperasi
Maksud dari pemerintah Jepang adalah
supaya kekuatan umat islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang
asia timur raya yang dipimpin oleh Jepang.[10]
Dengan konteks sejarah dunia yang
menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun
tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa
sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk
mendukung kemenangan militer dalam peperangan pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang
Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda
menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa
kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem
pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
a. Dijadikannya Bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda.
b. Adanya integrasi sistem pendidikan
dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era
penjajahan Belanda.
Kebijakan politik Jepang juga tampaknya
tidak jauh beda dengan scenario yang dibuat oleh Snouck Hurgronje, yaitu
memisahkan islam dari politik praktisnya. Jepang mulai menerapkan
pengawasan-pengawasan secara ketat terhadap organisasi-organisasi islam,
terutama terhadap pendidikan islam. Namun paradok dengan misinya tersebut,
rezim Jepang malah membuka peluang bagi pemimpin-pemimpin muslim terlibat dalam
organisasi-organisasi politis yang diciptakannya. Dalam mobilisasi islam
Indonesia, pemerintah Jepang menciptakan hubungan yang sangat dekat dengan elit
muslim, sebagai bukti, Jepang membentuk organisasi federative baru yang bernama
MASYUMI (Majelis Syuro Muslim Indonesia) tanggal 22 November 1943 dan diberi
status hukum pada 1 Desember 1943, sebagai ketua organisasi ini adalah K.H.
Hasyim Asy’ari.
Pada saat berdiri, keanggotaan
masyumi hanya terbuka kepada organisasi islam yang diberi status hukum oleh
pemerintah militer. Artinya hanya Muhammadiyah dan NU saja yang dapat
bergabung. Namun 3 bulan kemudian anggota masyumi bertambah dengan masuknya
al-ittihajatul islamiyah dan PUI yang direstui oleh pihak Jepang.
Masyumi semakin kokoh ketika tanggal
1 Agustus 1944 pemerintah Jepang mengeluarkan pengumuman reorganisasi shumubu
(kantor urusan agama bentukan Jepang) yang bertujuan agar semua masalah agama
dapat diatur dengan mudah. Konsekuensi reorganisasi ini, Husien Djaraningrat,
kepala shumubu mengundurkan diri, lalu diganti oleh ketua Masyumi, K.H. Hasyim
Asy’ari. Dengan demikian kegiatan agama keislaman dibawah control elit muslim.
Tidak lama setelah itu,
jepang mengadakan perubahan di bidang pendidikan, di antaranya menghapuskan dualisme pengajaran. Dengan
begitu habislah riwayat penyusunan pengajaran Belanda yang dualistis membedakan
antara pengajaran barat dan pengajaran bumi putera. Dengan penghapusan
pendidikan bertujuan mengambil hati rakyat indonesia dan pemerintahan jepang
beralih bahwa pendidikan itu tidak ada perbedaan antara golongan satu dengan
golongan lainnya. Pada hal sebenarnnya jepang mempunyai semboyan Asia untuk
Asia. Jepang menguasai daerah Indonesia yang kaya sumber bahan mentah. Hal itu sangat
berguna bagi sarana yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk
kepentingan perang jepang.
Pendidikan pada zaman
jepang disebut Hakku Ichiu yakni
mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama
Asia Raya. Oleh karena itu bagi setiap pelajar setiap hari terutama pada pagi
harus mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar jepang, lalu di latih kemiliteran.
Pada hal secara realitanya sistem sekolah pada zaman jepang banyak perbedaannya
dibandingkan dengan penjajahan Belanda. Hanya satu sekolah rendah diadakan bagi
semua lapisan masyarakat, ialah sekolah rakyat enam tahun, yang dikenal dengan
nama Kokumin Gakko. Sekolah-sekolah
desa dibiarkan, tetapi namanya diganti menjadi sekolah pertama. Adapun susunan
pengajaran menjadi. Pertama Sekolah
Rakyat enam tahun( termasuk Sekolah Pertama). Kedua Sekolah menengah tiga tahun. Ketiga, Sekolah Menengah Tinggi tiga tahun(SMA pada zaman Jepang).
Terbukti bahwa sistem perjenjangan yang berlaku di Indonesia merupakan warisan
masa penjajahan jepang.
Namun ada kelebihannya
pada masa jepang yakin menjunjung dan menetapkan bahasa indonesia sebagai
bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Pemakaian bahasa Indonesia, baik sebagai
bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah telah
dilaksanakan. Namun demikian sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat
untuk memperkenalkan kebudayaan jepang kepada rakyat. Di sinilah kewajiban
sebagai pendidik yang mampu mengadakan filter
terhadap kebudayaan-kebudayaan asing, sehingga yang tidak sesuai perlu
dibuang jauh-jauh.
Pada awalnya
pemerintahan jepang mengambil siasat merangkul umat islam sebagai mayoritas
penduduk Indonesia. Sikap penjajah jepang terhadap pendidikan islam ternyata
lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan islam ternyata lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintah kolonial
Belanda. Hal ini dikarenakan jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan
agama, yang penting bagi jepang adalah demi keperluan memenangkan perang, dan
kalau perlu para pemuka agama lebih di berikan keleluasan dalam mengembangkan
pendidikannya. Dengan mendekati dan mengambil hati umat Islam, mereka dapat
memperkuat kekuasaannya di Indonesia. Untuk itu mereka menempuh beberapa
kebijakan. Kantor Urusan Agama pada zaman Belanda disebut kantoor
Vorr Islamistiche Zaken yang dipimpin oleh orang-orang
orientalis Belanda diubah namanya oleh jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama islam, yaitu KH.Hasyim
Asy’ari, sedangkan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
Pesantren yang besar-besar
saring mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar jepang. Sekolah
negeri diberi pelajaran budi pekerti
yang isinya identik dengan ajaran agama. Pemerintah Jepang mengizinkan
pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi
pemuda islam, yang dipimpin oleh KH. Zainul Arifin. Pemerintahan Jepang
mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di jakarta yang dipimpin oleh ulama
Islam, yaitu KH.Hasyim Asy’ari, sedangkan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
Pesantren yang
besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar
Jepang. Sekolah negri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan
ajaran agama. Pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk
memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda islam , yang dipimpin oleh
KH.Zainul Arifin. Pemerintahan jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi
Islam di Jakarta yang dipimmpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Bung
Hatta. Dengan bekerjasama dengan pemimpin-pemimpin nasional, ulama’ islam
diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air(PETA). Umat islam diizinkan
meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majlis Islam A’la Indonesia(IMAI).
Pada perang dunia II
kedudukan Jepang terjepit, akhirnya jepang mulai menekan dan menjalankan
kekerasan terhadap bangsa Indonesia. Hasil
kekayaan bumi Indonesia dikuras untuk pembiayaan perang Asia Timur Raya.
Jepang lalu memberlakukan kerja paksa(Romusha),
kemudian Jepang membentuk badan-badan pertahanan rakyat semesta. Kehidupan
rakyat Indonesia semakin tertindas dan menderita, maka lahirlah berbagai
pemberontakan.
Dengan demikian
pendidikan Islam khususnya dan pendidikan di Indonesia pada umumnya pada zaman
Jepang telah menjadi kemerosotan dan kemunduran dalam bidang pendidikan, karena
ketatnya pengaruh indoktrinasi serta disiplin mati akibat pendidikan militerisme fascisme Jepang. Namun
demikian masih ada beberapa keuntungan di balik kekejaman Jepang tersebut.
Bahasa Indonesia hidup dan berkembang secara luas di seluruh Indonesia, baik
sebagai bahasa pergaulan, bahasa pengantar maupun sebagai bahasa ilmiah.
Buku-buku dalam bahasa
asing yang diperlukan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kreativitas
guru-guru berkembang dalam memenuhi kekurangan buku pelajaran dengan menyadur
atau mengarang sendiri, termasuk krteatifitas untuk menciptakan alat peraga dan
model dengan bahan dan alat yang tersedia. Seni bela diri dan latihan
perang-perangan sebagai kegiatan kurikuler di sekolah telah membangkitkan
keberanian pada para pemuka yang ternyata sangat berguna dalam perang
kemerdekaan. Diskriminasi menurut golongann penduduk, keturunan dan agama
ditiadakan, sehingga semua lapisan masyarakat mendapat kesempatan yang sama
dalam bidang pendidikan.
Pendidikan
Islam di zaman Jepang dapat bergerak
lebih bebas bila dibandingkan dari zaman Belanda. Pada masa penjajahan Jepang
atas usaha Mahmud Yunus di sumatera barat, dapat disetujui oleh kepala Jawatan
Pengajaran Jepang untuk memasukkan pendidikan agama islam ke sekolah-sekolah
pemerintah, mulai dari Sekolah Desa. Selanjutnya Majlis Islam Tinggi di
Sumatera Utara, menetapkan rencana pengajaranya yang disusun oleh Muhammad
Yunus. Karena pengaruh indroktinasi yang ketat untuk men-Jepang-kan rakyat
Indonesia, justru perasaan rindu kepada kebudayaan sendiri dan kemerdekaan
nasional berkembang dan bergejolak secara luar biasa.
BAB III
PENUTUP
C. Penutup
1. Kesimpulan
Beberapa prinsip yang oleh
pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan
antara lain:
a.
Menjaga jarak atau tidak memihak
salah satu agama tertentu.
b. Memperhatikan keselarasan dengan
lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan
guna mendukung kepentingan colonial.
c.
Sistem pendidikan diatur menurut
pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.
d.
Pendidikan diukur dan diarahkan
untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai
pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.
Jepang menerapkan beberapa kebijakan
terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan
di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
a.
Dijadikannya Bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda
b. Adanya integrasi sistem pendidikan
dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era
penjajahan Belanda.
Pada masa
penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mendapatkan pendidikan. Namun pendidikan
yang ada di Indonesia wajib mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat oleh Belanda.
Dalam hal ini, Belanda menerapkan pendidikan di Indonesia dengan tujuan
menjadikan rakyat Indonesia sebagai pekerja bagi orang Belanda dengan gaji atau
upah yang tidak setimpal.
Pada masa
penjajahan Jepang, pendidikan yang ada di Indonesia dikelola oleh Jepang. Dalam
hal ini, rakyat indonesia diberikan pendidikan
agar mampu mendukung kemenangan militer Jepang dalam peperangan pasifik.
Pada masa
sekarang ini, pendidikan di Indonesia sudah lebih maju. Hal ini ditandai dengan
adanya sistem kurikulum dalam dunia pendidikan. Namun pendidikan di Indonesia belum mampu menerapkan kurikulum
yang tepat bagi pendidikan yang ada di Indonesia.
2. Saran
Dalam penulisan makalah kami, kami
mempunyai saran sebagai berikut:
a.
Kita sebagai umat islam, harus
mempunyai rasa nasionalisme terhadap bangsa dan negara terutama dalam dunia
pendidikan.
b. Sebagai mahasiswa kependidikan
islam, sudah seharusnya kita mempelajari Sejarah Pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, 1995. Sejarah pendidikan
Islam. Bumi aksara:Jakarta
Hanun Asrohah, 1999. Sejarah
pendidikan Islam. PT LOGOS: Jakarta
Zuhairini dkk, 1986. Sejarah
Pendidikan Islam. Proyek pembinaan sarana dan prasarana IAIN: Jakarta
Drs. Rohidin Wahab, 2004. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Alfabeta: Bandung
Suwendi, 2004. Sejarah Pendidikan
Islam. PT Grafindo Persada: Jakarta
Redja Mudyaharjo, 2001. Pengantar
Pendidikan. PT Grafindo Persada: Jakarta
[1]
Doktrin Mathias
[2]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-4, 1995,
hal. 147
[3]
HR. Mubangid, Diktat Kuliah : sejarah pendidikan Islam
[4]
Hanun Asrohah, Sejarah pendidikan islam,
Jakarta: PT LOGOS, cet.1, 1999, hal.151
[5]
Ibid hal. 152
[6]
Dra. Zuhairini dkk, sejarah pendidikan islam (Jakarta:proyek pembinaan sarana
dan prasarana IAIN, 1986) hal.159
[7] Drs Rohidin Wahab,Sejarah Pendidikan Islam di indonesia
(Bandung:Alfabeta,2004) hal 17
[8] Suwendi, sejarah dan pemikiran
pendidikan islam (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), hal 85
[10]
Dra. Zuhairini dkk, sejarah pendidikan islam (Jakarta:proyek pembinaan sarana
dan prasarana IAIN, 1986) hal.151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar