Dewasa ini kita melihat kultur di dunia pesantren mulai mengalami
regresi yang semakin lama semakin tidak bisa dianggap sepele, sebut saja mulai
dari adat ghosob sandal yang tidak ada penyelesaian konkrit hingga abad
millennium, hingga kebanggaan memiliki gadget bernilai jutaan rupiah dengan
menunggak syahriyah di tiap bulannya.
Bila kita berbicara tentang santri tentu kita akrab dengan
kehidupan sosial yang dialami secara langsung oleh para santri di setiap
harinya, yang memang pendidikan para santri selain di fokuskan kepada
penguasaan ilmu agama yang mumpuni juga pendidikan para santri di pesantren
mengharapkan santri bisa ber-interaksi dan ber-kolaborasi secara utuh dan luwes
dengan masyarakat sekitar agar bisa memberi manfaat bagi lingkunganya.
Seiring dengan berjalannya waktu, dinamika sosial yang terjadi di dalam
lingkungan pesantren terus menunjukan gejala-gejala yang mirip dengan gejala di
dunia luar dan seakan tidak memiliki identitas. Saat ini ada beberapa pesantren
yang memang sedikit demi sedikit mencoba merevisi corak pendidikannya dari system
klasikal (salaf) menjadi system modern (Kholaf), Perubahan paradigma
ini memang tidaklah menjadi suatu
persoalan yang perlu didebatkan, karena ini memang salah satu upaya inovasi
bagi lembaga pesantren untuk setidaknya “tetap hidup” dan menarik minat para
wali santri untuk mendaftarkan putra-putrinya nyantri di pesantren itu,
kan ?.
Sadar ataupun tidak sadar kita hari ini sudah terlanjur memasuki
era post-modern yang mana terjadi gejala perubahan dalam berinteraksi sosial,
cara berkomunikasi serta sikap dan perilaku sosial dalam menyikapi realitas,
dan dalam masyarakat post-modern, realitas sosial tidak lagi dipahami hanya
sebatas objek yang teramati, melainkan menjadi sesuatu hal yang melampaui
realitas itu sendiri (hyper-reality).
Menurut Paul Baudrillad[1]
era post-modern ditandai dengan makin maraknya komunikasi bermediasi, konsumsi
simbolis, dan semakin padatnya ruang dan waktu. Peran media massa semakin
intensif dalam membangun masyarakat yang didasarkan atas keteraturan tatanan
sosial konsumsi simbolis. Konstruksi sosial media massa yang semakin signifikan
melahirkan referensialitas-diri (self-reference) pada simbol-simbol
seperti cap dan merek dagang tertentu.
Konsumsi masyarakat post-modern tidak lagi hanya didasarkan pada
fungsi dan kegunaannya, melainkan juga didasarkan pada makna sosial simbolis
yang dibawanya. Memiliki barang-barang mahal yang bermerk tinggi seperti ponsel
Apple atau Samsung setidaknya lebih bergengsi daripada ponsel
merk lain yang tidak terkenal meskipun spesifikasinya sama. hal ini memang
bukan hal yang aneh bila dilihat menurut kaca mata Paul Baudrillad yang mana perubahan
era modern ke era post-modern ditandai dengan pergerseran tatanan sosial
masyarakat dari produksi dan konsumsi komoditas menjadi simulasi serta
permainan citra dan tanda. Sementara itu kode, model dan tanda menjadi
bentuk-bentuk tatanan sosial baru dalam logika simulasi. Sehingga orang akan
sulit membedakan mana realitas sosial yang alami, mana realitas sosial yang
semu, serta mana realitas sosial yang melampaui batas dirinya sendiri.
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs. Al-Maidah : 87)
Bila kita melihat dari temuan yang di ungkap Paul Baudrillad diatas
memang fenomena masyarakat post-modern sedikit banyak sudah menjangkit dan
menggerogoti urat-saraf jiwa sosial para santri di pondok pesantren, terlebih
lagi jika santri sudah terkena nomophobia [2]
ini akan sangat sulit untuk menumbuhkan jiwa sosialnya di dunia nyata tanpa ada
dorongan yang kuat dari luar untuk bergerak.
Menurut penulis pembatasan penggunaan ponsel maupun alat komunikasi
modern lain di pesantren merupakan kebijakan utopis yang tidak akan membendung
budaya apatis dari para santri terlebih konteksnya untuk santri yang didalamnya
mayoritas adalah seorang mahasiswa, seyogyanya pembuatan forum-forum kumpul sanri
seperti diskusi, masak bareng, dan tadabbur alam marupakan sebuah solusi yang
ditawarkan penulis agar para santri bisa saling interaksi secara nyata.
Wallahu A'lam Bishawab.
[1] Jean
Baudrillard (Reims, 20 Juni 1929–Paris, 6 Maret 2007) adalah seorang pakar
teori kebudayaan, filsuf, komentator politik, sosiolog dan fotografer asal
Perancis
[2] Nomophobia
adalah perasaan ketakutan (phobia) yang tiba-tiba muncul ketika anda tidak bisa
mengakses kontak yang terdapat di telepon seluler. Baik itu karena daya baterai
habis, tidak ada sinyal, atau kehilangan ponsel. Nomophobia,
no-mobile-phone-phobia. Sederhananya adalah rasa takut kehilangan telepon
genggam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar