BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai salah satu ilmu keIslaman,
Ilmu kalam sangat lah penting untuk di ketahui oleh seorang muslim yang mana
pembahasan dalam ilmu kalam ini adalah pembahasan tentang aqidah dalam Islam
yang merupakan inti dasar agama, karena persolaan aqidah Islam ini memiliki
konsekwensi yang berpengarah pada keyakinan yang berkaitan dengan bagaimana
seseorang harus meng interpretasikan Tuhan itu sebagai sembahannya hingga
terhindar dari jurang kesesatan dan dosa yang tak terampunkan (syirik).
Memang, Pembahasan pokok dalam Agama
Islam adalah aqidah, namun dalam kenyataanya masalah pertama yang muncul di
kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persolaan di bidang
politik, hal ini di dasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa,
titik awal munculnya persolan pertama ini di tandai dengan lahirnya
kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu di
awAli dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok
dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang
berbeda-beda.
Dalam pembahasan Ilmu Kalam, kita
dihadapkan pada barbagai macam gerakan pemikiran-pemikiran besar yang
kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa agama Islam telah hadir
sebagai pelopor munculnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu
dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan
bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang
dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al—Quran dan
As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas.
B.
Rumusan
masalah
1.
Apa
sajakah aliran-aliran dalam ilmu kalam ?
2.
Siapa
tokoh-tokoh dalam setiap aliran didalam
ilmu kalam ?
3.
Apa
saja perbedaan dari tiap aliran-aliran tersebut ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
tiap-tiap aliran dalam ilmu kalam
2.
Mengetahui
tokoh dalam tiap-tiap aliran ilmu kalam
3.
Mengetahui
perbedaan pada tiap-tiap aliran di ilmu kalam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran-Aliran
Ilmu Kalam
Problematika teologis di kalangan
umat Islam baru muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib
(656-661M) yang ditandai dengan munculnya kelompok dari pendukung Ali yang
memisahkan diri mereka karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima
Tahkim dalam menyelesaikan konfliknya dengan muawiyah bin abi Sofyan, gubernur
syam, pada waktu perang siffin. Kelompok ini selanjutnya dikenal dengan
Kelompok Khawarij.
Lahirnya Kelompok Khawarij ini
dengan berbagai pendapatnya selanjutnya, menjadi dasar kemunculan kelompok
baru yang dikenal dengan nama Murji’ah.
lahirnya Aliran teologi inipun mengawali kemunculan berbagai Aliran-Aliran
teologi lainnya. Dan dalam perkembangannya telah banyak melahirkan berbagai
Aliran teologi yang masing-masing mempunyai latar belakang dan sejarah
perkembangan yang berbeda-beda. Berikut ini akan dibahas tentang pertumbuhan
dan perkembangan Aliran tersebut berikut pokok-pokok pikiran nya masing-masing.
1.
Aliran
Syi’ah
Syi’ah dilihat dari segi bahasa berarti pengikut, pendukung, partai
atau kelompok, sedangkan secara terminology adalah sebagian kaum muslimin yang
dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi
Muhammad SAW atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait. Poin penting dalam
doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari
ahl al-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang
bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.
Menurut Thabathbai, istilah Syi’ah untuk pertama kalinya ditujukan
pada para pengikut Ali, pemimpin pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad
SAW. Para pengikut Ali yang disebut Syi’ah itu di antaranya adalah Abu Dzar
Al-Ghiffari, Miqad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada
masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru
benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal
dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas permintaan Ali
terhadap arbitrase yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah
menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali—kelak disebut Syi’ah—dan
kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berbeda pendapat bahwa kemuncukan Syi’ah
berkaitan dengan masalah pengganti (khalifah) Nabi SAW. Mereka menolak
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi.
Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat
yang diberikan oleh Nabi SAW pada masa hidupnya. Pada awal keNabian, ketika
Muhammad SAW diperinthakan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang
pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada
saat itu mengatakan orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi
penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang keNabian Muhammad, Ali merupakan
orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar, adapun
pokok-pokok ajaran Syi’ah yang harus di
percayai oleh penganut-penganutnya yakni :
a.
Al
Tauhid
Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya
bahwa Allah itu ada, Maha esa, tunggal, tempat bergantung, segala makhluk,
tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang menyamainya.
Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.
b.
Al
‘Adl
Kaum Syi’ah mempunyai keyakinan
bahwa Allah Maha Adil. Allah tidak melakukan perbuatan zhalim dan perbuatan
buruk, ia tidak melakukan perbuatan buruk karena ia melarang keburukan, mencela
kezaliman dan orang yang berbuat zalim.
c.
Al
Nubuwwah
Kepercayaan Syi’ah terhadap para Nabi-Nabi
juga tidak berbeda dengan keyakinan umat muslim yang lain. Menurut mereka, Allah
mengutus sejumlah Nabi dan Rasul ke muka bumi untnk membimbing umat manusia.
d.
Al
Imamah
Menurut Syi’ah, Imamah berarti
kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, ia pengganti Rasul dalam
memelihara Syari’at, melaksanakan Hudud, dan mewujudkan kebaikan dan
ketentraman umat.
e.
Al
Ma’ad
Ma’ad berarti tempat kembali (hari
akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa
hari akhirat itu pasti terjadi.
2.
Aliran Khawarij
Aliran Khawarij merupakan Aliran
teologi tertua yang merupakan Aliran pertama yang muncul dalam teologi Islam.
Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah
setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di sepakati para jema’ah,
baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in
secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja”
yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan
Ali.[1]
Kelompok ini juga kadang kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti
“golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah di samping itu nama lain dari
khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama
suatu tempat dekat kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakn rasa
penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan
Mu’awiyah.[2]
Kelompok khawarij ini merupakan
bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan
ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim
(arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan persilisihan dan konfliknya
dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin.
Latar belakang ketidak setujuan
mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang
tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia
sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan al-quran adalah kafir.
Dengan demikian, orang yang melakukan tahkim dan merimanya adalah kafir.[3]
Atas dasar ini, kemudian golongan
yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik menentang dan memusuhi
Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari,
Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar
dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang
berhasil terbunuh ditangan mereka.
a.
Tokoh-tokoh
Khawarij
1.
Abdullah
bin Wahab al-Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura
(pimpinan Khawarij pertama)
2.
Urwah
bin Hudair
3.
Mustarid
bin sa’ad
4.
Hausarah
al-Asadi
5.
Quraib
bin Maruah
6.
Nafi’
bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
7.
Abdullah
bin Basyir
8.
Zubair
bin Ali
9.
Qathari
bin Fujaah
10.
Abd
al-Rabih
11.
Abd
al Karim bin ajrad
12.
Zaid
bin Asfar
13.
Abdullah
bin ibad[4]
b.
Sekte-sekte
dan ajaran pokok Khawarij
Terpecahnya Khawarij ini menjadi
beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya dan sehingga Aliran ini
hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut adalah: [5]
1.
Al-Muhakkimah
2.
Al-Azariqah
3.
Al-Najdat
4.
Al-baihasyiah
5.
Al-Ajaridah
6.
Al-Sa’Alibah
7.
Al-Ibadiah
8.
Al
Sufriyah
c.
Secara
umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah:
1.
Orang
Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
2.
Orang-orang
yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair,
dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan
mambenarkannya – di hukum kafir;
3.
Khalifah
harus dipilih langsung oleh rakyat. [6]
4.
Khalifah
tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi
Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
5.
Khalifah
di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan
syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
6.
Khalifah
sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya
Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
7.
Khalifah
Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).[7]
3.
Aliran Murji’ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai
reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan
terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal itu dilakukan oleh
aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang
terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah
yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melukan
dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka[8].
Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan
sealin Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasulnya. Dengan kata lain bahwa orang
mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mangucapkan dua kalimat
syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut
masih tetap mukmin, bukan kafir.[9]
Pandangan mereka itu terlihat pada
kata murji’ah yang barasal dari kata arja-a yang berarti menangguhkan,
mengakhirkan dan memberi pengharapan.
a. Hal-hal yang melatarbelakangi
kehadiran murji’ah antara lain adalah : [10]
1.
adanya
perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij; mengkafirkan pihak-pihak yang
ingin merebut kekuasaan ali dan mengakfirkan orang- yang terlihat dan
menyetujui tahkim dalam perang siffin.
2.
adanya
pendapat yang menyalahkan aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya
perang jamal.
3.
adanya
pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan. [11]
b.
Ajaran-ajaran Murji’ah
1.
Iman
Hanya membenarkan (pengakuan) di dalam Hati
2.
Orang
islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap
mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.
3.
Hukum
terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat[12]
c.
Tokoh
dan sekte dalam Murji’ah
Dalam perkembangannya, Murji’ah
mengalami berbagai perbedaan pendapat dikalangan pengikutnya yang mendasari
lahirnya aliran-aliran, selanjutnya, aliran murji’ah ini terpecah menjadi
beberapa macam sekte, ada yang moderat, ada pula yang ekstrem.
Tokoh murji’ah Moderat antara lain
adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusufdan
beberapa ahli hadits[13],
yang berpendapat, bagaimanapun besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat
ampunan dari Tuhan masih ada. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok
Jahmiyah, pengikut Jaham bin Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun
seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang itu tidak dihukum kafir.[14]
4.
Aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara
yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan.Sedangkan
sebagai suatu aliran dalam ilmu kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk
suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia
dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah manusia di
pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan
qada Tuhan[15]
Mazhab qadariyah muncul sekitar
tahun 70 H(689 M). Ajaran-ajaran tentang Mazhab ini banyak memiliki persamaan
dengan ajaran Mu’tazilah sehingga Aliran Qadariyah ini sering juga disebut
dengan aliran Mu’tazilah, kesamaan keduanya terletak pada kepercayaan kedunya
yang menyatakan bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya, dan Tuhan
tidak campur tangan dalam perbuatan manusia ini, dan mereka menolak segala
sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah SWT.[16]
Aliran ini merupakan aliran yang
suka mendahulukan akal dan pikiran dari pada prinsip ajaran Al-Qur’an dan
hadits sendiri. Al-Qur’an dan Hadits mereka tafsirkan berdasarkan logika
semata-mata. Padahal kita tahu bahwa logika itu tidak bisa menjamin seluruh
kebenaran, sebab logika itu hanya jalan pikiran yang menyerap hasil tangkapan
panca indera yang serba terbatas kemampuannya. Jadi seharusnya logika dan akal
pikiranlah yang harus tunduk kepada Al-Qura’n dan Hadits, bukan sebaliknya.[17]
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad
Al-Juhani dan Ghailan al Dimasyqi. Kedua tokoh ini yang mempersoalkan tentang
Qadar.
Adapun Pokok-pokok ajaran Qadariyah,
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam halaman 297/298,
pokok-pokok ajaran qadariyah adalah :
1.
Orang
yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlah mukmin, tapi fasik dan
orang fasikk itu masuk neraka secara kekal.
2.
Allah
SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik
(surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka)
atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah
berhak disebut adil.
3.
Kaum
Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah
tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan
melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu
mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
4.
Kaum
Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala
sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk. [18]
Selanjutnya terlepas apakah paham
qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang jelas di dalam
Al-Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah .
Dalam surat Al Ra’ad Ayat 11, di
jelaskan
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan diri mereka sendiri”
Dalam Surat Al-Kahfi ayat 29, Allah
menegaskan
È ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
“Kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Dengan demikian paham qadariyah
memilki dasar yang kuat dalam islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian
orang menilai paham ini sesat atau kelaur dari islam
5.
Aliran Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa Jabariyah
berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan
perbuatan tersebut kepada Allah.[19]
Dan dalam bahasa inggris disebut dengan fatalism atau predestination,
yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia di tentukan sejak semula
oleh qada dan qadar Tuhan.
Menurut catatan sejarah, paham
jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam datangke masyarakat
arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah
memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat
tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari
mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata
tunduk dan patuh kepada kehendak Tuhan.[20]
Munculnya mazhab ini berkaitan
dengan munculnya Qadariyah. Daerah kelahirannya pun berdekatan. Qadariyah
muncul di irak, jabariyah di khurasan. Aliran ini pada mulanya di pelopori oleh
al-ja’ad bin dirham. Namun, dalam perkembangannya. Aliran ini di sebarluaskan
oleh jahm bin Shafwan. Karena itu aliran ini terkadang disebut juga dengan
Jahmiah.
Pokok-pokok paham jabariyah.
Selanjutnya, yang menjadi dasar yang
sejajar dengan pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al-Qur’an
diantaranya :
Dalam surat al-saffat ayat 96 :
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Dalam surat al Insan ayat 30,
dinyatakan
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah”.
Jaham bin Shafwan mempunyai
pendirian bahwa manusia itu terpaksa, tidak mempunyai pilihan dan kekuasaan.
Manusia tidak bisa berbuat lain dari apa yang telah di lakukannya. Allah SWT,
telah mentakdirkan ats dirinya segala amal perbuatan yang mesti di kerjakannya,
dan segala perbuatan itu adalah ciptaan Allah, sama seperti apa yang dia
ciptakan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, jaham
menginterpretasikan bahwa pahala dan siksa merupakan paksaan dalam arti bahwa Allah
telah mentakdirkan seseorang itu baik sekaligus memberi pahala dan Allah telah
mentakdirkan seseorang itu berdosa sekaligus juga menyiksanya.
Sehingga, dalam realisasinya, orang
yang termakan paham ini bisa menjadi apatis dan beku hidupnya, tidak bisa
berbuat apa-apa, selain berpangku tangan, menunggu takdir Allah semata-mata dan
berusahapun tidak. Karena mereka telah berkeyakinan bahwa Allah telah
mentakdirkan segala sesuatu, dan manusia tidak bisa mengusahakan sesuatu itu.
Disisi lain, aliran ini tetap
berpendapat bahwa manusia tetap mendapat pahala atau siksa karena perbuatan
baik atau jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia
adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Berkenaan dengan itu perlu
dipertegas bahwa Jabariyah yang di kemukakan Jaham bin Shafwan adalah paham
yang ekstrem. Sementara itu terdapat pula paham jabariyah yang moderat, seperti
yang diajarkan oleh Husain Bin Muhammad al.Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr.
Menurut Najjar dan Dirar,
bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan Manusia baik perbuatan itu
positif maupun negatif Tetapi dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai
bagian daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan, mempunyai efek,
sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu.Daya yang diperoleh untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut Kasb atau
acquisition.[21]
Menurut paham ini manusia tidak
hanya bagaikan wayang di gerakkan oleh dalang, tetapi manusia dan Tuhan
terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu perbuatan, dan manusia tidak
semata-mata di paksa dalam melaksanakan perbuatannya.
6.
Aliran Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari
kata Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya nama ini di berikan
oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak
sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam
perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah
dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Aliran mu’tazilah lahir kurang lebih
120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan mampu bertahan
sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan
abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri
atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa
meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah
sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk
menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi
munculnya kedua Mu’tazilah diatas tidaklah sama dan tidak ada hubungannya
karena yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang kedua muncul
karena didorong oleh persoalan aqidah.[22]
Dalam perkembangannya, Mu’tazilah
pimpinan Washil bin Atha’ lah yang menjadi salah satu aliran teologi dalam
islam.
a.
Pokok-pokok
ajaran Mu’tazilah
1.
al
Tauhid (keesaan Allah)
2.
al
‘Adl (keadlilan Tuhan)
3.
al
Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
4.
al
Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
5.
amar
mauruf dan Nahi mungkar.[23]
b.
Tokoh-tokoh
Mu’tazilah
- Washil bin Atha’
- Abu Huzail al-Allaf
- Al Nazzam
- Al-Jubba’i[24]
7.
Ahlussunah Wal-
Jamaah
Ahlussunnah berarti penganut atau
pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah berarti sahabat Nabi. Jadi
Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) Nabi dan
para sahabat beliau.[25]
Ahlussunnah sering juga disebut
dengan Sunni dapat di bedakan menjadi 2 pengertian, yaitu khusus dan
umum, Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syiah, Dalam pengertian
ini, Mu’tazilah sebagai mana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni.
Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan
Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.[26]
Aliran ini, muncul sebagai reaksi
setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan maturidiyah, dua aliran yang
menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan
pendiri mazhab ini adalah Abu al hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.
a. Abu al Hasan al Asy’ari
Pokok-pokok
pemikirannya
·
Sifat-sifat
Tuhan. Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Alqur’an,
yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat Tuhan.
Sifat-sifat itu bukanlah zat Tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
·
Al-Qur’an,
Manurutnya, al-Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
·
Melihat
Tuhan, menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat
nanti.
·
Perbuatan
Manusia. Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan Tuhan, bukan di ciptakan
oleh manusia itu sendiri.
·
Antrophomorphisme
·
Keadlian
Tuhan, Menurutnya, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan
tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak Tuhan
sebab Tuhan maha kuasa atas segalanya.
·
Muslim
yang berbuat dosa. Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat
diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.[27]
b.
Abu manshur Al-Maturidi
Pokok-pokok pemikirannya :
·
Sifat
Tuhan. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
·
Perbuatan
Manusia. Menurtnya, Perbuatan manusia sebenarnya di wujudkan oleh manusia itu
sendiri, dan bukan merupakan perbuatan Tuhan.
·
Al
Quran. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
·
Kewajiban
Tuhan. Menurutnya, Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu.
·
Muslim
yang berbuat dosa. Pendapatnya sejalan dengan al Asy’ari
·
Janji
Tuhan. Menurutnya, janji pahala dan siksa mesti terjadi, dan itu merupakan
janji Tuhan yang tidak mungkin di pungkirinya.
B.
Perbedaan Ilmu Kalam Satu Dengan Yang Lain
·
PERBUATAN
TUHAN
Semua aliran dalam pemikiran kalam
berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang
sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.
1.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran
kalam yang bercorak Rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas
pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak
mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan
tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan
buruk itu. Di dalam Al-qur’an pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat
zalim. Ayat-ayat Al-qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung
pendapatnya diatas adalah surat Al-anbiyaa (21):23 dan surat Ar-rum (30) : 8.
Qadi Abd Al-jabar, seorang tokoh
Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya
berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan buruk[29].
Dengan demikian, Tuhan tidak perlu di tanya. Ia menambahkan bahwa seseorang
yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik ., tidak perlu ditanya
mengapa ia melakukan perbuatan baik itu adapun ayat yang kedua, menurut
Al-jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi
serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita
bohong.
Dasar pemikiran tersebut serta
konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya
batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok
Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia
kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam satu hal yaitu kewajiban
berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang
terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah
memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini :
a.
Kewajiban
tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia.
Memberi
beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan
faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertetangan dengan faham mereka tentang
keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang
terlalu berat kepada manusia.
b.
Kewajiban
mengirimkan Rasul
Bagi
aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib,
pengiriman Rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman Rasul
kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka
adalah kondisi akal yang tidak dapat mengtahui setiap apa yang harus diketahui
manusia tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul,
manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat
nanti.
c.
Kewajiban
menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (wa’id)
Janji
dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah.
Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan
bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada
orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat
jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman
bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati
janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2.
Aliran Asy’ariah
Menurut aliran asy’ariyah, faham
kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa
al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah , tidak dapat diterima
karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan
Al-ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat dan yang
terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan
mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk.
Sebagaimana yang dikatakan Al-ghazali, perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib
(Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan
mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa ,
aliran asy’ariyah menerima faham pemberian beban diluar kemampuan manusia,
Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam Al-luma, bahwa Tuhan dapat
meletakkan beban yang tidak dapat di pikul pada manusia. Menurut faham
Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan Tuhan dan
diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari sudut
faham ini, pemberian bebana yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan
persoalan bagi aliran Asy’ariah manusia dapat melaksanakan beban yang tak
terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang
terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
3.
Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini,
terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan
hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian Tuhan berkewajiban
melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman Rasul
Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki
pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Bazdawi, bahwa Tuhan
pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat
kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang
kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya
bersifat mungkin saja.
·
PERBUATAN
MANUSIA
Masalah perbuatan manusia bermula
dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok jabariyah dan kelompok
Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh
aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan
manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk
didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak
yangbersifat mutlak. Maka disini timbulllah pertanyaan, sampai dimanakah
manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan
dalam menentukan perjalanan hidup ?, apakah manusia terikat seluruhnya kepada
kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?.
1.
Aliran
Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan
manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan
Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia
bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, Tetapi
kemauan yang dipaksakan atas dirinya salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim,
mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik,
tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud
dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2.
Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa
segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya
sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak
menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh
hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir dalam pandangan
Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam
semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa
tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada
perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin
islam sendiri banyak ayat Al-qur’an yangmendukung pendapat ini misalnya dalam
surat Al-kahfi ayat ke-29:
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
“katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang
siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah
ia”
3.
Aliran
Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia
mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham
Qadariyah atau free wil.l Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga
berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat
terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras
faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka
bagaimana mungkin dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan
sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi
untuk mengubah bentuknya.
4.
Aliran
Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia
ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak
memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan
faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari
memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan
perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib
(yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan
keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an :
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat”(Q.S. Ash-shaffat : 96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa
perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek
untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan
perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia
dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5.
Aliran
Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini,
terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah
bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan
kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada
diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia
dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan
Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi
bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil
daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia
dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Dalam aliran Maturidiyah bukhara ini
memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan,
perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang
telah diciptakan Tuhan baginya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor
lahirnya pemikiran-pemikiran yang hingga
sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga
dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah,
bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber
pada al—Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat
luas.
Sekarang,
bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki
titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat
mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan
Hadits. Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling
baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian sesungguhnya ada pada
sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti.
Penilaiaan
baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di lakukan dengan
mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang
dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu pendapat
atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan
yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia,
dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Yusran Asmuni. 1996.
Ilmu Tauhid. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada
Nata
Abuddin. 1995. Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Abdul Rozak,
dkk .2006. Ilmu kalam. Bandung:CV. Pustaka setia.
Zainuddin.
1992. Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Rineka Cipta.
Harun Nasution. 2010 . Teologi Islam . Jakarta : UI-Press
Nurcholish
Majid. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Waqaf Paramadina,
Jakarta.
Nazir Karim. 1992. Dialektika Teologi Islam. Bandung :
Penerbit Nuansa
[1]
Drs. Abuddin Nata, M.A, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf,.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995. Hal. 29
[2]
Drs. H. M Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada, 1996. Hal.
[3]
Ibid. Hal. XV
[4]
Ibid, Hal. 104
[5]
Drs. Abuddin Nata, op. cit. Hal. 30
[6]
Drs. H. M. Yusran asmuni, op.cit. Hal. 105.
[8]
Harun
Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 2010, Hlm 26
[9]
Drs. Abuddin Nata. Op.cit . Hal. 33
[10]
Drs. H.M Yusran Asmuni, op.cit. Hal. 106
[11]
Ibid, Hal. 34
[12]
Ibid, Hal. 106
[13]
Drs. Abuddin Nata. Op.cit . Hal. 34
[14]
Drs. H.M Yusran Asmuni, op.cit. Hal. 108
[15]
Drs. Abuddin Nata, op.cit.Hal 36
[16]
Drs. H.M. Yusran Asmuni, po.cit. Hal. 109
[17]
Drs. H. Zainuddin, Ilmu Tauhid, Jakarta:PT
Rineka Cipta, 1992. Hal. 45
[18]
Ibid hal. 47
[19]
Drs. Abuddin Nata. Op.cit . Hal. 39
[20]
Ibid. hal. 40
[21]
Ibid. Hal. 42
[22]
Drs. H. M. Yusran Asmuni. Op.cit.Hal 114
[23]
Ibid, Hal. 115
[24]
Ibid, Hal. 147
[25]
Ibid. Hal. 121.
[26]
DR. Abdul Rozak, M.Ag. Dkk, Op.Cit.Hal. 119
[27]
Drs. H. M. Yusran Asmuni. Op.cit.Hal 122
[29]
Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan
Peradaban, Yayasan Waqaf Paramadina, Jakarta, 1995. cet. II, hlm. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar