MUSYRIF KAMAL J. HAQ
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
CEKIDOOTT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pengumpulan dan penyususnan Al-Qur’an dalam bentuk seperti saat ini,
tidak ter, jadi dalam satu masa, tapi berlangsung selama beberapa tahun atas
upaya beberapa orang dan berbagai kelompok. Urutan , susunan dan jumlah ayat
disetiap surah sudah dibakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Karenanya
surah-surah di dalam Al-Qur’an harus dibaca sesuai dengan urutan yang telah di
tetapkan.
Kebanyakan peneliti sejarah yang berbicara tentang masalah ini
berdasarkan riwayat, berpendapat bahwa pengumpulan dan penerbitan surah-surah
Al-Qur’an terjadi sepeninggalan Rasulullah SAW yang di prakarsai oleh AliBin
Abi Thalib, kemudian Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat mulia lainnya.
Berdasarkan masalah di atas penulis menyusun makalah ini dengan di
latar belakangi untuk berbagi pengetahuan kepada khalayk umum, mengenai Jam’ul
Qur’an.
1.2. Rumusan
masalah
- Bagaimana Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW?
- Bagaimana Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar?
- BagaimanaPengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman?
- Apa perbedaan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan
Usman?
- Berapa jumlah surat dalam Al-Qur’an?
- Berapa jumlah ayat-ayat, kata dan huruf dalam Al-Qur’an?
1.3.Tujuan
- Untuk mengetahui bagaimana Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad
SAW?
- Untuk mengetahui bagaimana Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu
Bakar?
- Untuk mengetahui bagaimanaPengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman?
- Untuk mengetahui apa perbedaan pengumpulan Al-Qur’an pada masa
Abu Bakar dan Usman?
- Untuk mengetahui berapa jumlah surat dalam Al-Qur’an?
- Untuk mengetahui berapa jumlah ayat-ayat, kata dan huruf dalam
Al-Qur’an?
- Dan untuk berbagi pengetahuan kepada khalayak umum mengenai
jam’ul Qur’an secara rinci.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Nabi
Muhammad saw
Al-Qur’an
dilumpulkan pada dua masa, masa Rasulullah saw dan masa Khulafaurrasidin.
Masing-masing tahap pengumpulan ini mempunya keistimewaan tersendiri. Kata
“Pengumpulan” kadang diartikan menghafal dan mengeluarkan dari dada para sahabat.
Kadang pula diartikan penulisan atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun. Dan
keduanya ini berlaku pada tahap pengumpulan di zaman Nabi sekaligus.
Pengumpulan
ayat-ayat Al-Qur’an di masa Nabi Muhammad saw terbagi atas dua kategori yaitu :
1. Pengumpulan dalam dada, dengan cara
menghafal, menghayati dan mengamalkan.
2. Pengumpulan dalam dokumen, dengan
menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.
a.
Pengumpulan
Al-Qur’an dalam Dada
Menghafal
Al-Qur’an dalam dada kaum muslim dengan benar-benar menguasai seluruh ayat yang
terdapat dalam Al-Qur’an tersebut secara detail. Oleh karena itu, jika ada
lafazh yang mengatakan “Juma’ul Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an)” maka lafazh
tersebut bermakna “Hufazhul Qur’an (penghafal Qur’an).
Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi yang ummy (tidak bisa baca tulis). Karena itu, perhatian
Nabi hanyalah untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat
menghafal dan menguasai Al-Qur’an sama persis sebagaimana Al-Qur’an diturunkan.
Setelah itu ia membacakannya kepada umatnya sejelas mungkin agar mereka dapat
menghafal dan memahaminya. Hal ini karena Nabi di utus Allah di kalangan
orang-orang yang ummy pula.
Firman Allah dalam Q.S.
Al-Jumuah : 2
Artinya
: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara
mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dengan
mengajarkan mereka kitab dan hikmah. “
Biasanya
orang-orang ummy mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Pada masa
diturunkannya Al-Qur’an bangsa Arab berada dalam martabat yang begitu tinggi
dan sempurna daya ingatnya. Mereka sangat kuat dalam hafalannya serta daya
pikirnya begitu terbuka. Bahkan mereka mampu menghafal beratus-ratus ribu syair
dan mengetahui silsilah serta nasab (keturunannya). Mereka dapat mengungkapkannya
di luar kepala dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali mereka yang tidak bisa
mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut, tidak hafal “Almuallaqatul Asyar”
yang begitu banyak syairnya dan lagi pula sulit dalam menghafalkannya.
Ketika
Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan keluhuran
kandunngan isinya, mereka merasa kagum. Akal mereka terkuasai oleh Al-Qur’an,
sehingga seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur’an. Mereka menghafal
ayat demi ayat dan surat demi surat dalam Al-Qur’an. Mereka meninggalkan
syair-syair karena merasa memperoleh roh/jiwa dari Al-Qur’an.
Rasulullah
saw adalah orang pertama yang menghafal Al-Qur’an lafazh-lafazh dalam
Al-Qur’andan sekaligus mengumpulkannya di dalam dada beliau. Kemudian hal itu
diikuti kaum muslim lainnya dalam menghafal, mempelajari, dan merealisasikannya
dalam kehidupan mereka. Jika ada orang yang baru memeluk Islam, maka akan
diserahkan kepada salah seorang penghafal Al-Qur’an aagar orang tersebut
diajarkan tentang isi kandungan Al-Qur’an.
Para sahabat berlomba-lomba dalam membaca dan
mempelajari Al-Qur’an. Mereka mencurahkan segala kemampuannya untuk menguasai
dan menghafal Al-Qur’an. Mereka mengajarkan kepada keluarganaya, istri, serta
kepada anak-anaknya di rumah masing-masing sehingga apabila ada orang yang
melewati rumah mereka diwaktu malam yang gelap gulita niscaya akan terdengar
alunan Al-Qur’an bagaikan gema suara kumbang.
Sejak
dahulu kaum muslim generasi pertama selalu menghafal dan menjaga Al-Qur’an.
Sehingga banyak di antara sahabat yang telah hafal Al-Qur’an. Hal ini karena
Rasulullah saw telah membakar semangat mereka untuk menghafal Al-Qur’an serta
mereka merasa betapa pentingnya Al-Qur’an bagi kehidupan sosial mereka dan juga
merasa bahwa Al-Qur’an adalah titik poros bagi kehidupan kemanusiaan mereka. Nabi
Muhammad saw mengutus mereka yang ahli Al-Qur’an untuk memasuki seluruh pelosok
kota dan kampung untuk meengajarkan dan membacakan Al-Qur’an kepada
penduduknya, sebagaimana halnya sebelum hijrah. Beliau mengutus Musa bin Umair
dan Ibnu Ummi Maktum ke Madinah untuk mengajarkan Islam dan menngajarkan Al-Qur’an
dan mengutus Muazd bin Jabal ke Makkah sesudah hijrah untuk menghafalkan dan
mengajarkan Al-Qur’an. Itulah sebabnya para penghafal/tahfidzul Qur’an pada
masa kehidupan Rasulullah tak terhitung jumlahnya.
Ciri
khas umat Nabi saw adalah menghafalkan kitab suci Al-Qur’an dalam hati mereka.
Dalam menukilnya, mereka berpedoman pada hati dan dada, tidak cukup hanya
berdasarkan tulisan, dalam bentuk lembaran atau catatan. Berbeda halnya dengan
ahli kitab, mereka tak seorangpun yang yang hafal akan Taurat atau injil. Dalam
mengabdikannya, mereka hanya berpedoman dengan tulisan, mereka tidak membacanya
dengan penuh seksama, kecuali hanya sekilas pandang dan tidak penuh dengan
penghayatan. Karena itu masuklah unsur-unsur perubahan dan pergantian pada
keduanya. Berbeda halnya dengan Al-Qur’an yang telah dipelihara oleh Allah swt.
Karena Dia memberikan pertolongan kepada umat-Nya agar mendapat kemudahan dalam
menghafalkannaya.
ولقد
يسرنا القراء ن لللد كر فهل من مد كر
Arti
: “dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah
orang yang memberi pelajaran ? ” ( QS. Al-Qomar : 17)
Allah
menjaganya dari perubahan dan penyelewengan dengan dua cara, yaitu penjagaan
dalam bentuk tulisan dan dalam bentuk hafalan dan hati, sesuai dengan firman-Nya
:
Arti
: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. “ ( QS. Al-Hijr : 9)
Tidak
diragukan lagi, hal tersebut merupakan suatu perrtolongan Allah khusus untuk
Al-Qur’an serta merupakan suatu prioritaas dan keistimewaan yang luar biasa
kepada umat Muhammad. Ia menurunkan suatu kitab yang tak hancur terendam
air.
b. Pengumpulan dalam Bentuk Tulisan
Keistimewaan
yang kedua dari Al-Qur’an ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Maksudnya
adalah penulisan dan pencatatan Al-Qur’an dalam lembaran-lembaran secara
sempurna. Bahwasanya kepermanenan teks Al-Qur’an telah sempurna penulisannya
pada zaman Nabi. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa pengumpulan Al-qur’an
yang sempurna terjadi pada masa kehidupan Syaykhayn (Abu Bakar dan Umar).
Tetapi kedua pendapat yang berbeda itu mungkin bisa dipersatukan dengan cara
memberikan pernyataan bahwa pertama kali proses pengumpulan Al-Qur’an telah
sempurna pada masa Nabi saw tetapi pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf
yang tersusun rapi dalam setiap lembarannya, baru sempurna pada masa Syaykhayn.
v Cara-cara Penulisan Al-Qur’an
Rasulullah
saw memiliki beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap ayat turun Al-Qur’an,
beliau memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dalam rangka memperkuat
catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhdap kitab Allah swt,
seingga penulisan tersebut dapat memudahkan haaflan dan memperkuat daya ingat.
Para penulis wahyu tersebut adaah sahabat pilihan Nabi dari kalangan sahabat
yang terbaik dan indah tulisannya sehingga mereka benar-benar dapat mengemban
tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab,
Muadz bin jabal, Muawiyah binAbi Sofyan, Khulafaur Rasyidin, dan
sahabat-sahabat yang lain.
Selain
mereka yang terkenal sebagai sekretaris wahyu, masih banyak lagi sahabat yang
menulis Al-Qur’an. Banyak di antara mereka memiliki mushaf pribadi yang
ditulisnya sesuai yang didengar atau yang hfalan yang diterima dari Rasul,
seperti mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali, mushaf Aisyah, dan lain-lain.
Adapun
cara mereka menulis Al-Qura’an adalah menggunakan pelepah-pelepah kurma,
kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang, dan sebagainya. Hal ini karena
belum ada pabrik kertas dikalangan orang Arab. Pada saat itu pabrik kertas
hanya ada di Persi dan Romawi. Itupun masih sangat kurang dan tidak disebarkan.
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a bahwa ia berkata, “Kami menulis Al-Qur’an
di hadapan Nabi pada kulit ternak.“ Maksudnya adalah mengumpulkannya agar
sesuai dengan petunjuk Nabi saw dan menurut perintah Allah. Para ulama sepakat
bahwa pengumpulan Al-Qur’an adalah taufiqi (menurut ketentuan) artinya
susunannya sebagaimana ynag kita lihat sekarang ini. Telah disebutkan bahwa
Jibril as bila membawakan sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi, ia mengatakan,
“Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya
pada urutan kesekian surat...” demikian pula halnya Rasul memerintahkan para
sahabat, “ Letakkanlah pada urutan ini. “
B. Pengumpulan
Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
Rasulullah
saw berpulang ke rahmatullah setelah beliau selesai menyampaikan risalah dan
amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk menjalankan agama yang
lurus. Setelah beliau wafat, kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar r.a. pada
masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi malapetaka, berbagai kesulitan dan
problem yang rumit, di antaranya memerangi orang-orang yang murtad yang ada
dikalangan orang Islam serta memerangi pengikut Musailamah Al-Kadzdzab.
Pada
perang Yamamah banyak kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an dan ahli bacanya
yang gugur. Jumlahnya lebih dari 70 orang huffaz ternama. Karena itu Umar bin
Khattab menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sadih dan sakit, dia
bermusyawarah supaya mengumpulkan Al-Qur’an karena dikhawatirkan Al-Qur’an akan
lenyap dengan banyaknya huffaz yang gugur. Awalnya Abu Bakar ragu namun setelah
dijelaskan sisi positifnya akhirnya dia menerima usul Umar. Abu Bakar
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkannya dalam satu mushaf.
Al-Bukhari
meriwayatkan dalam sahihnya tentag kisah pengumpulan Al-Qur’an ini.
“Dari Zaid bin Tsabit
r.a bahwa ia berkata, “Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban
pertempuran Yamamah, yang di antaranya adalah 70 orang penghafal Al-Qur’an.
Pada saat itu Umar berada disamping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan,
“Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan, ‘sesungguhnya pertumpahan darah
pada pertempuran Yamamah banyak merenggut nyawa para penghafal Al-Qur’an. Aku
khawatir gugurnya para penghafal Al-qur’an akan menghilangkan Al-Qur’an yang
telah terkumpul di dada mereka. Aku berpendapat agar Engkau memerintahkan
seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an. ‘ Aku (Abu Bakar) menjawab, ‘Bagaimana
aku melakukan suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul saw ?’
Umar r.a menjawab, ‘Demi Allah, perbuatan tersebut adalah baik. ‘Ia berulangkali
mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan
dada Umar. Dalam hal ini aku sependapat dengan Umar. Kemudian, Abu Bakar
berkata kepada Zaid, “Engkau adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak
meragukan kemampuanmu. Engkau adalah penulis wahyu dari Rasulullah saw. Oleh
karena itu, telitilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.....! “Zaid menjawab, “Demi
Allah andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung, tidaklah akan
berat bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebeankan kepadaku
ini...”Aku mengatakan, “Bagaimana Anda berdua akan melakukan pekerjaan yang
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw ? “Abu Bakar menjawab, “Demi Allah,
hal ini adalah baik. “Dan ia mengulanginya berulang kali sampaiaku dilapangkan
dada oleh Allah sebagaimana Ia telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Selanjutnya aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur’an dari kepingan batu, pelepah
kurma, dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an, sampai akhirnya aku
mendapatkan akhir surat At-Taubah dari Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak
terdapat pada yang lainnya yaitu ayat 128-129. “
Lembaran-lembaran
tersebut disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat. Kemudian (diserahkan) kepada
Umar sampai ia wafat dan kemudian disimpan di rumah Hafsah binti Umar.
C. Perbedaan
antara pengumpulan Abu Bakar dan Usman
Menurut
Ibnu Tin :
1.
Pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekhawatiran
akan hilangnya sebagian Al-Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab
ketika itu Al-Qur’an belum terkumpul pada satu tempat.
2.
Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dalam lembaran-lembaran dengan
menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah kepada
mereka.
3.
Pengumpulan Utsman disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal
qira’at.
4.
Utsman menyalin lembaran-lembaran itu kedalam satu mushaf dengan
menertibkan/menyusun surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy
saja dengan alasan bahwa Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka, sekalipun pada
mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain Quraisy guna
menghindari kesulitan.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan
Utsman ke berbagai daerah :
a.
Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang
dikirimkan ke Makkah, Syam, Basrah, Kufah, Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu
Daud mengatakan: “ Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: “ telah
ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain,
Basrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah. “
b.
Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah, masing-masing
dikirimkan ke Irak, Syam, Mesir dan mushaf Imam; atau dikirimkan ke Kufah,
Basrah, Syam dan mushaf imam. Berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-muqni: “
sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Utsman menulis mushaf, ia
membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah
masing-masing satu buah: ke Kufah, Basrah, Syam dan ditinggalkan satu buah
untuk dirinya sendiri.”
c.
Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti
berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.
Tidak ada kitab yang memiliki akurasi dan kemutawatiran periwayatan
sedemikian meyakinkan dan cermat, melebihi periwayatan Al-Qur’an Al-Karim. Yang
demikian itu disebabkan karena tidak akan ada lagi nabi sesudah Muhammad SAW. ,
dan tidak ada pula syariat baru sesudah islam, disamping karena janji Allah SWT
yang menegaskan dalam firmannya surat Al-Hijr ayat 9 yang artinya ”
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami
benar-benar memeliharanya “(QS.Al-Hijr : 9).
D.
Pengumpulan Al-Quran pada masa usman
Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbaijin dari penduduk Irak,
termasuk Hudzaifah bin Al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara
membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan,
masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang
setiap orang yang menyalahi bacaannya dan puncaknya mereka saling mengafirkan.
Melihat kenyataan demikian, Hudzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan
kepadanya apa yang telah dilihatnya. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan
ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan
perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada
pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan
bacaan-bacaan baku pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirim utusan kepada hafshah (untuk meminjamkan
mushaf Abu Bakar yang ada padanya), dan Hafshah pun mengirimkan
lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit
Al-Anshari, Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin
Al-Harits bin Hisyam (Tiga orang Qurasy). Lalu ia memerintahkan mereka agar
menyalin dan memperbanyak mushaf, jika ada perbedaan anatara Zaid dengan ketiga
orang Quraisy itu, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraisy karena Al-Qur’an
turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi
beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada
Hafshah. Selanjutnya Utsman mengirimkan mushaf baru tersebut ke setiap wilayah
dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an atau mushaf lainnya dibakar.
Apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat.
Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Al-Qur’an
seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qira’at. Utsman telah
mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafshah. Lalu, dia kirimkan
pula ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahannya satu mushaf di
Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama “ Mushaf
Imam. “ Penamaan mushaf imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam
riwayat-riwayat terdahulu dimana ia mengatakan, “ Bersatulah wahai
sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf
Al-Qur’an sebagai pedoman).” Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk
lembaran atau mushaf yang selain itu. Keputusan ini tidak salah, sebab qira’at
dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qira’at
dengan tujuh huruf semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir
sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan
bahwa qira’at dengan tujuh huruf itu termasuk dalam kategori keringanan. Yang
wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir.
E. Jumlah
surat dalam Al-Qur’an
Jumlah surat dalam Al-Qur’an adalah 114
berdasarkan ijmak (konsensusa) para ulama. Ada yang mengatakan bahwa jumlah
surat-suratnya adalah 113 surat, yaitu dengan menjadikan surat Al-Anfal dan
Bara’ah menjadi satu surat.
Abu asy-Syekh mengeluarkan sebuah riwayat dari
Abu Rauq, ia berkata,” Al-Anfal dan Bara’ah merupakan satu surat.” Abu
asy-Syekh juga mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Raja’, ia berkata,” Aku
pernah bertanya kepada Hasan tentang surat Al-Anfal dan Bara’ah, apakah itu dua
surat atau satu surat? Ia berkata,’ Itu dua surat.’ Telah dinukil seperti
perkataan Abu Rauq, dari Mujahid, dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari
sufyan.
Didalam Mushaf Ibnu Mas’ud terdapat 112 surat,
karena tidak ditulis di dalamnya al-Mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas),
dan di dalam Mushaf Ubay terdapat 116 surat, karena ia menulis di akhir mushaf
itu dua surat lagi, yaitu surat “al-Hafdu” dan surat “al-Khulu”.
Abu Ubaid mengeluarkan sebuah riwayat dari
Ibnu Sirin, ia berkata,” Ubay bin Ka’ab menulis di dalam Mushafnya : Fatihul
Kitab, al-Mu’awwadzatain, Allahumma nasta’iinuka, dan Allahumma iyyaaka
na’budu. Daan Ibnu Mas’ud meninggalkan itu semua, sedangkan Utsman menulis dari
itu semua Faatihatul Kitab dan Mu’awwidzatain. Dan masih banyak lagi riwayat
dari para ulama-ulama lainnya.
Disebutkan dalam suatu pendapat bahwa hikmah
dari menjadikan Al-Qur’an dalam berbagai surat adalah unutuk menunjukkan adanya
surat itu sendiri sebagai mukjizat dan sebagai salah satu ayat dari ayat-ayat
kekuasaan Allah, juga sebagai isyarat bahwa sesungguhnya setiap surat itu
memiliki keistimewaan tersendiri. Sebagai contoh surat Yusuf itu menerjemahkan
tentang kisahnya, demikian juga surat lainnya. Surat-surat ada yang panjang,
sedang, dan ada yang pendek, untuk meningkatkan bahwa panjangnya surat itu
tidak menjadi syarat I’jaz. Misalnya Surat al-Kautsar itu terdiri dari tiga
ayat, sesungguhnya ia mukjizat seperti kemukjizatan surat al-Baqarah. Disanalah
pula tampak hikmah dalam pengajaran anak-anak secara bertahap dari mulai
surat-surat pendek hingga surat-surat diatasnya, sebagai kemudahan dari Allah
untuk hamba-hamba-Nya agar Kitab-Nya mudah dihafal.(272)
F. Jumlah
ayat-ayat, kata-kata dan huruf dalam Al-Qur’an
Sebagian ulama qurra menyusun kitab secara
khusus tentang masalah tersebut. Imam al-Ja’bari mengatakan, “ definisi ayat
adalah Qur’an yang terangkai dari brbagai jumlah (ungkapan), walaupun secara
taqdiriyyan (perkiraan), dan memiliki permulaan atau penggalan yang masuk
didalam surat. Asal dari al-aayat adalah al-alaamat yang berarti tanda, seperti
firman Allah SWT, “ Inna aayata mulkihii,” (QS. Al-Baqarah 248), karena
ia merupakan tanda untuk kemuliaan dan kejujuran, atau berarti al-Jamaa’ah,
karena ayat itu adalah jamaah (kumpulan)
dari kalimat (kata).
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat
adalah tha’ifatun minal qur’an, munqathi’atun ‘amma qablahaa wa maa ba’dahaa
( salah satu bagian dari Al-Qur’an yang terpisah dari sebelumnya dan sesuatu
setelahnya). Da juga
yang mengatakan bahwa ayat adalah al-Waahidatu minal ma’duudaat fis suwari
(satuan dari rangkaian kata yang di hitung dalam surat-surat). Dikatakan
demikian karena ia merupakan indikator (tanda) atas kebenaran orang yang
membawanya (Rasul SAW). Dan tanda atas kelemahan orang-orang yang menentangnya.
Sebagian pendapat mengatakan, “Dikatakan ayat karena ia menjadi tanda atas
terputusnya sesuatu yang sebelumnya berupa kalam dan terputusnya sesuatu dari
yang setelahnya.”
Imam al-Wahdi mengatakan,”Sebagian ulama kita
memperbolehkan untuk menamakan ungkapan Al-Qur’an yang kurang dari satu ayat
sebagai ayat, seandinya tidak ada taufiq (ketentuan dari Allah) seperti yang
ada sekarang.” Sedangkan Abu ‘Amr ad-Daani mengatakan, “ Sepengetahuan saya, tidak
ada ayat yang terdiri dari satu kata (kalimat) selain firman Allah
SWT:’Mudhaammataan’ (QS. Ar-Rahman 64)
Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat yang
shahih adalah ayat itu dapat diketahui berdasarkan taufiq(ketentuan) dari
Asy-Syari’ (Allah SWT), seperti mengetahui surat. Dengan demikian, ayat adalah
sekelompok dari huruf-huruf Al-Qur’an yang bersifat taufiq dan yang terpisah
dari kalam yang terletak setelahnya di awal Al-Qur’an dan terpisah pula dari
kalam yang terletak sebelumnya di akhir Al-Qur’an, serta terpisah dari sesuatu
yang gterletak sebelumnya dan setelahnya dari selain keduanya, yang tidak
mengandung seperti hal tersebut. Dengan pembahasan seperti ini maka surat tidak
termasuk di dalamnya.
Ibnu adh-Dhurais mengeluarkan sebuah riwayat,
dari jalan periwayatan Utsman bin ‘Atha’, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, ia
berkata, “seluruh ayat Al-Qur’an itu berjumlah 6600 ayat dan seluruh hurufnya
berjumlah 323.671.” Sedangkan Imam ad-Daani mengatakan, “Mereka para uama
bersepakat bahwa junlah ayat-ayat Al-Qur’an itu 6000 ayat, kemudian mereka
berbeda pendapat tentang jumlah selebihnya. Sebagian ada yang tidak menambah
dan sebagian mereka ada yang mengatakan 204 ayat.” Ada yang mengatakan 14 ayat,
dan ada lagi yang mengatakan 19 ayat, dan ada yang mengatakan 25 ayat, dan ada
juga yang mengatakan 36 ayat. Dan ada ulama lain mengatakan, aku (Imam Suyuthi)
berpendapat: Imam ad-Dailami mengeluarkan sebuah riwayat didalam Musnad
Al-Firdaus dari jalan periwayatan Al-Faid bin Watsiq, dari Furat bin Salman, dari
Maimun bin Mihran, dari Ibnu Abbas(marfu’);” Tangga disurga itu sebanyak
ayat-ayat Al-Qur’an yang setiap ayat itu sama dengan satu tangga. Itulah 6216
ayat. Diantara setiap dua tangga jaraknya antara langit dan bumi. Al-Faidh,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ma’in adalah kazzab (pembohong) dan khabits
(buruk).
Al-Mushili juga mengatakan,”Kemudian
surat-surat Al-Qur’an itu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, bagian yang
tidak diprselisihkan tidah bersifat ijmal (global) dan tidak pula bersifat
tafshil (terperinci). Kedua, bagian yang diperselisihkan secara tafshil
(terperinci), tidak yang ijmal. Ketiga, bagian yang diperselisihkan secara
ijmal maupun secara tafshil.”
G. Terbitnya ayat dan surat
a.
Tertib Ayat
Al-Qur’an terdiri atas surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek
maupun yang panjang. Adapun ayat, ia adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat
dalam surat-surat Al-Qur’an. Sedangkan surat adalah sejumlah ayat Al-Qur’an
yang mempunayai permulaan dan kesudahan. Penempatan secara tertib urutan
ayat-ayat Al-Qur’an ini adalah bersifat tauqifi
, berdasarkan
ketentuan dari Rasulullah SAW. Menurut sebagian ulama, pendapat ini merupakan
ijma’.
Az-Zakasyi dalam Al-Burhan
dan Abu Ja’far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabah-nya,
mengatakan, “Tertib ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan taufiqi dari Rasulullah dan atas
perintahnya, tanpa di perselisihkan kaum muslimin.”As-Suyuthi memastikan hal
itu, katanya, “Ijma’ dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu
adalh taufiqi, tanpa diragukan lagi. “Jibril menurunkan beberapa ayat kepada
Rasulullah dan menunjukkan kepadanya dimana ayat-ayat itu harus di letakkan
dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan
pada penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda
kepada mereka, “Letakkan ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya di sebutkan
begini dan begini, atau letakkan ayat ini pada anu.” Susuan dan penempatan ayat
tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.
Utsman bin Abi Al-‘Ash berkata, “Akun tengah duduk disamping
Rasulullah SAW, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti
semula. Kemudian katanya; Jibril telah dating kepadaku dan memerintahkan agar
aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surat ini, sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta bersedekah kepada kaum
kerabat,” (An-Nahl:90)
Ketika pengumpulan Al-Qur’an, Utsman selalu berada di tempat setiap
kali suatu ayat atau surat akan diletakkan didalam mushaf, sekalipun ayat itu
mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan, penulisan ayat dengan
tertib seperti itu adalah tauqifi.
Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat
dari surat-surat tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika susunannya diubah,
tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits tertentu.
Diriwayatkan
dari Abu Ad-Darda’ dalam hadits marfu’,
“Barang siapa yang hafal sepuluh ayat dari awal surat Al-Kahfi,
Allah akan melindunginnya dari Dajjal.”
Dalam
redaksi lain dikatakan, “Barang siapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surat
Al-Kahfi….”
Juga terdapat hadits-hadits lain yang menunjukkan letak ayat
tertentu pada tempatnya. Umar nerkata, “Aku tidak menanyakan kepada nabi
tentang sesuatu lebih banyak dari yang aku tanyakan kepada beliau tentang kalalah(orang yang meninggal, tetapi
tidak mempunyai anak dan orang tua), sampai nabi menekankan jarinya ke dadaku
dan mengatakan, “ tidak cukuplah bagimu
ayat yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat di akhir surat An-Nisa’?”
Disamping itu, banyak juga riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW membaca sejumlah surat dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat
atau dalam khutbah jum’at, seperti aurat Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisa’,
juga diriwayatkan secara shahih, bahwa Rasulullah membaca Al-A’raf dalam shalat
maghrib. Beliau juga membaca surat Alif
Lam Mim Tnzil (As-Sajdah) dan Hal
ata’alalinsan (Ad-Dahr)dalam shalat subuh di hari jum’at. Beliau pun
membaca surat Qaf pada waktu khutbah; surat Al-Jumu’ah dan surat Al-Munafiqun
dalam shalat jum’at.
Jibril senantiasa mengujukan Al-Qur’an yang telah disampaikannya
kepada Rasulullah setiap tahun sekali
pada bulan ramadhan, dan pada tahun terahkir kehidupannya sebanyak dua
kali. Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang
ini.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada dalam
mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi,
tanpa diraguakan lagi. Komentar As-Suyuthi, setelah menyebutkan hadits-hadits
berkenan dengan surat-surat tertentu, “Pembacaan surat-surat yang dilakukan
Nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan
ayat-ayat Al-Qur’an adalah tauqifi.
Para sahabat tidak akn menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang
mereka dengar dari Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada
tingkat mutawatir.”
b. Tertib Surat
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur’an
yang ada sekarang.
1.
Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagimana diberitahukan
malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikian, Al-Qur’an pada
masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib
ayat-ayatnya, seperti yang ada ditangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf
Usman yang tak ada seorang sahabat menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi
ijma’ susunan surat yang ada, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Kelompok ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surat
secara tertib dalam shalatnya. Ibnu Abi syaibah meriwayatkan, bahwa Nabi pernah
membaca beberapa surat mufashshal (
surat-surat pendek) dalam satu rakaat. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
katanya, “surat Bani Israil, Al-Kahfi, Maryam, Thaha dan Al-Abiya’ termasuk
yang diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia
menyebutkan surat-surat itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti
sekarang ini.
Juga Ibnu Wahab meriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata;
Aku mendengar Rabi’ah ditanya orang, “ Mengapa surat A-Baqarah dan Ali Imran di
dahulukan, padahalsebelum surat itu diturunkan sudah ada delapan puluh sekian
surat Makiyyah, sedang keduanya diturunkan di Madinah?” Ia menjawab, “Kedua
surat itu memang di dahulukan dan Al-Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan
dari orang yang mengumpulkannya. “Kemudian katanya, “Ini adalah sesuatu yang
mesti terjadi dan tidak perlu ditanyakan.”
Ibnu Hashshar mengatakan. “Tertib surat dan letak ayat-ayat pada
tempatnya masing-masing itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan, “Letakkan
ayat ini di tempat ini.” Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang
mutawatir yang tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat
untuk meletakkan waktu menyusunnya seperti ini dalam mushaf.”
2.
Kelompok kedua terdapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad
para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf
mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Al-Mudatsir, lalu Nun,
Al-Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makiyyah dan
Madaniyah.
Adapun dalam mushaf Ibnu Mas’ud, yang pertama ditulis adalah surat
Al-Baqara, kemdian An-Nisa’, lalu disusul Ali Imran. Sedangkan dalam mushaf
Ubay, yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqaraa, An-Nisa’, lalu
Ali-Imran.
Ibnu Abbas menceritakan, “Aku bertanya pada Utsman; Apakah yang
mendorongmu mengambil Al-Anfal yang termasuk kategori surat al-matsani dan
Bara’ah yang termasuk mi’in untuk anda hubungkan menjadi satu tanpa anda
tuliskan bismillahir rahmanir rahim
diantara keduanya, anda juga meletakkannya pada as-sab’u ath-thiwal (Tujuh surat panjang)? Utsman menjawab; Telah
turun kepada Rasulullah surat-surat yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada
yang turun kepadanya,ia panggil beberapa orang penulis wahyu, lalu
mengintruksikan, ‘Letakkanlah ayat ini pada pada surat yang di dalamnya
terdapat ayat anu dan anu’. Surat Al-Anfal termasuk surat pertama yang turun di
Madinahsedangkan surat Bara’ah terakhir di turunkan. Kisah dalam surat Al-Anfal
serupa dengan kisah dalam surat Bara’ah, sehingga aku mengira sirat Bara’ah
adalah bagian dari surat Al-Anfal. Tetapi nyatanya sampai Rasulullah wafat
tidak pernah menjelaskankepada kami bahwa surat Bara’ah merupakan bagian dari
surat Al-Anfal. Oleh karena itu, kedua surat tersebut aku gabungkandan di
antara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahir
Rahmanir Rahim. Akun juga meletakkan pada as-sab’u ath-thiwal.”
3.
Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat
tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena
terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa Nabi. Misalnya,
keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’u
ath-thiwal, al-hawamim dan al-mufashal
pada masa hidup Rasulullah.
Diriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Bacalah olehm dua surat yang bercahaya; Al-Baqarah dan Ali-Imran.”
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita
pendapat kedua, yang menyatakan tertib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para
sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab ijtihad para
sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar merek
sebelum Al-Qur’an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Utsman Al-Qu’an dikumpulkan,
ditertibkan ayat-ayat dan suratnya pada satu dialek, umatpun sepakat, maka
mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu
merupakan hasil ijihad, tentu mereka berpegang pada mushafnya masing-masing.
Mengenai hadits tentang surat Al-Anfal dan At-Taubah yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat tidak
terlepas dari jalur Yazid Al-Farisi yang oleh Al-Bukhari dikategorikan dalam
kelompok dhu’afah (perawi yabg
lemah).
Disamping itu, di dalam hadits ini pun mengndung keraguan mengenai penempatan
basmalah pada permulaan surat, yang mengesankan seakan-akan Utsman-lah yang
menempatkan basmalah dan menindakannya menurut
pendapat sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya dalam hadits
tersebut pada musnad Imam Ahmad,
Syaikh Ahmad Syakir menyebutkan. “Hadits ini tak ada asal mulanya.” Paling jauh
hadits itu hanya menunjukkan ketidaktertiban kedua surat tersebut.
Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surat itu
tertibnya tauqifi dan sebagian
lainnya bersifat ijtihad; Dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yng
menunjukkan tertib tauqifi. Adapun
bagian yang ijtihad tidak bersandar pada dalilyang menunjukkan tertib ijtihad.
Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan
dalil-dalilnya tidak berarti yang selain itu adalah hasil ijtihad. Di samping
itu, yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tertib surat-surat itu bersifat tauqifi, seperti halnya tertib
ayat-ayat. Abu Bakar Al-Anbari menyebutkan, “Allah telah menurunkan Al-Qur’an
seluruhnya ke langit dunia. Kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur
selama dua puluh sekian tahun. Sebuaj surat turun Karena ada suatu masalah yang
terjadi, ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya. Jibril senantiasa
memberitahukan kepada Nabi di mana surat dan ayat tersebut harus di tempatkan.
Dengan demikian susunan surat-surat,seperti halnya susunsn ayat-ayat dan
huruf-huruf Al-Qur’an seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barang
siapa mendahulukan sesuatu surat atau mengakhirkannya, berarti ia telah merusak
tatanan Al-Qur’an.
H.
Surat-surat Dan Ayat-Ayat Al-Qu’an
Surat-surat Al-Qur’an itu ada empat bagian: 1) Ath-Thiwal 2) Al-Mi’un, 3) Al-Matsani, dan 4) Al-Mufashal. Berikut ini kita kemukakan secara
singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
1)
At-Thiwal ada tujuh surat, yaiti Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am Al-A’raf dan
yang ketujuh ada yang mengatakan Al-Anfal dan Al-Bara’ah, juga termasuk karena
tidak dipisahkan dengan basmalah
diantara keduanya. Ada pula yang berpendapat bahwa yang ketujuh adalah surat
Yasin.
2)
Al-Mi’un yaitu; surat-surat yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau
sekitar itu.
3)
Al-Matsani, yaitu surat-surat yang jumlah ayatnya di bawah
al-mi’un. Dinamakan al-matsani, karena surat-surat itu di ulang-ulang bacanya
lebih banyak dari ath-thiwal dan
al-mi’un.
4)
Al-Mufasahahal, dikatakan bahwa surat-surat ini dimulai dari surat Qaf, ada pula
yang mengatakan dimulai dari surat Al-Hujarat, juga adapula yang mengatakan
dimulai dari surat lain. Mufashalah
dibagi menjadi tiga; Thiwal, ausath, dan qishar. Thiwal dimulain dari surat Qaf atau Al-Hujarat sampai dengan ‘Amma
atau Al-Buruj. Ausath dimulai dari
surat ‘Amma atau Al-Buruj sampai dengan Adh-dhuha atau Lam Yakun sampai dengan surat qishar
dimulai dari Ad-Dhuha dan Lam Yakun sampai dengan surat Al-Qur’an yang
terakhir.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.
Pengumpulan Al Qur’an di bagi menjadi 2 macam
a.
Pengumpulan
dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati dan mengamalkan.
b.
Pengumpulan
dalam dokumen, dengan menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.
2. Dan adapun cara mereka menulis Al-Qura’an adalah
menggunakan pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang
binatang, dan sebagainya.
3. Perbedaan
pengumpulan Al-Qur’an antara Abu Bakar dan Usman
a. Pengumpulan
yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian
Al-Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu Al-Qur’an belum
terkumpul pada satu tempat.
b. Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dalam
lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan
petunjuk Rasulullah kepada mereka.
c. Pengumpulan Utsman disebabkan banyaknya
perbedaan dalam hal qira’at.
d. Utsman menyalin lembaran-lembaran itu kedalam
satu mushaf dengan menertibkan/menyusun surah-surahnya dan membatasinya hanya
pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa Qur’an diturunkan dengan bahasa
mereka, sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain
Quraisy guna menghindari kesulitan.
4. Banyak sekali
pendapat-pendapat yang berbeda-beda mengenai jumlah surat, ayat dan huruf Al-Qur’an. Ada yang mengatakan 113
surat, 112, 116 dan ada yang 115 surat, Sedangkan menurut Ibnu adh-Dhurais
mengatakan bahwa seluruh ayat Al-Qur’an 6000 ayat dan seluruh hurufnya 323.671.
DAFTAR
PUSTAKA
Suyuthi Imam.
2008. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Surakarta: Indiva Pustaka.
Syekh
MannaAl-Qaththan. 2004. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Kairo: Maktabah
Wahbah.
Moh. Ali
Ash-Shahuniy. 1998. Studi Ilmu
Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
M. Hasbi Asy-Shiddieqy.
1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang