Mari kita renungkan lagi keber-Islam-an kita sebagai umat Islam.
Saya menemukan sejumlah keganjilan dan paradox sebagai bahan renungan kita
bersama.
Kita, sebagai umat Islam, sering sekali bangga dengan kuantitas
populasi kita sebagai umat Islam terbesar didunia. Namun kita juga sering kali
malu akibat predikat kita sebagai bangsa terkorup didunia. Di berbagai survey
internasional, kita masuk lingkup bangsa yang tertinggi dari segi korupsinya.
Juga, disatu sisi, agama kita, Islam, mengajak kita untuk hidup
dalam kedamaian dan keadaban. Namun, di antara saudara-saudara kita yang muslim
sering kali melampiaskan emosi kemarahan dengan kekerasan, ledakan bom, dan
terorisme. Kekuatan kita untuk menolak pelabelan negative sebagai “Muslim
teroris’ tiba-tiba harus berbenturan dengan suatu fakta bahwa saudara-saudara
kita justru memilih jalan kematian melalui kemartiran dan ledakan bom
terorisme.
Disatu sisi, kita menaruh komitmen keberagaman kita sebagai muslim
moderat. Yakni, muslim yang selalu berusaha ditengah-tengah, pada posisi
moderat, dan menjaga keseimbangan untuk tidak terjatuh pada salah satu kutub
ekstrem mana pun. Namun, disisi lain, saudara-saudara kita justru sering kali
terjatuh pada kutub ekstrem radikalisme dan fundamentalisme. Tentu, kita hargai
pilihan itu. Namun, yang kita sesalkan bersama, tentu saja aspek ritualisasi
kekerasan atas nama Islam.
Komitmen keber-Islam-an diantara saudara-saudara kita untuk
menegakkan misi amar makruf nahi munkar harus terbentur dan dibenturkan
pada jalan konflik dan kekerasan. Tentu, jalan konflik dan kekerasan
bersebrangan secara diametral dengan spirit Islam, al-qur’an dan keteladanan
rasul. Kita, sebagai umat Islam, dipandu untuk selalu merefleksikan orientasi
keber-Islam-an kita pada kearifan (al-hikmah), seruan yang baik (mau’idlah
al-hasanah) dan penuh nuansa diskurtif secara lebih baik (wa jadil hum
bi ‘l-lati hiya ahsan)
Karakter itulah yang hari-hari ini absen pada diri umat Islam
akhir-akhir ini, baik di tingkat elit maupun lapisan bawahnya, kita, umat Islam,
kehilangan segi-segi kearifan dalam keber-Islam-an dewasa ini. Di satu sisi
gairah keber-Islam-an kita menggelora secara gegap gempita. Namun disisi lain,
luapan itu sering kali kontra-produktif dengan cita-cita profetik Islam. Jadi kita
mengalami krisis kearifan keber-Islam-an pada dua tingkat sekaligus : elite dan
umat. Di tingkat elite. Sering kali pemimpin agama kita justru memobilisasi
kesadaran umat yang emosional untuk tujuan-tujan jangka pendek dan politis. Namun,
ditingkat umat, luapan emosional itu seringkali justru bermuara pada fenomena
yang destruktif dan kontra-produktif dengan usaha kita membangun citra Islam
yang ramah, toleran dan penuh kedamaian. Inilah fenomena umat Islam dewasa ini,
baik di berbagai daerah maupun di pusat Jakarta.
Sebagai muslim yang selalu merefleksiakan kembali arti hidup di
dunia fana ini, saya ingin mengajak kita semua, terutama pembaca budiman, untuk
menghidupkan kembali segi-segi kearifan dan kebijaksanaan hidup yang built-in
pada diri kita. Sebab, demikian keyakinan saya, dengan menghidupkan dan
mengedepankan segi-segi kearifan dan kebijaksanaan hidup, kita akan lebih
merasa terpanggil pada proses pencerdasan dan pencerahan saudara-saudara kita. Proses
ini, dari segi kalkulasi apapun, jauh lebih baik, lebih berharga, dan lebih
produktif nilainya untuk masa depan Islam dan umatnya, ketimbang memobilisasi
mereka demi kepentingan politik semu dan sesaat. Pada sisi lain,
saudara-saudara kita juga lebih merasa sadar, bahkan juga tercerahkan, dengan
kearifan dan keteladanan yang kita biasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahu a’lam bi al-shawab,
amien