Senin, 26 November 2012

Sholat Khajat


SHOLAT KHAJAT

USOLLI SUNNATAL KHAJATI ROK’ ATAINI LILLAHITA’ALA;

(Rokaat Pertama)
*    Surat Al-fatihah + Surat An in Siroh

-         ALAM NASROH LAKA SODROK, WAWADOKNA ANGKAWIZROK, ALLADI ANG KODODOHROK, WAROFAKNA LAKADIKROK, FAINNAMA’AL USRI YUSRO, INNA MA’AL USRI YUSRO, FAIDA FAROGTAFANGSOB, WAILA ROBBIKA FARHOB.

(Rokaat ke-2)
       *   Surat  Al-fatihah + Surat Al-fill
-         ALAM TARO KAIFAFA’ ALAROBBUKA BI’AS HA BILFILL, ALAM YAJ’ AL KAIDAHUM FI TADLIL, WA’AR SALA ALAIHIM TOIRON ABABIL, TARMIHIM BIKHIJAROTIM MING SIJJIL, FAJA’ALAHUM KA’AS FIM MAK’KUL.

#    Setelah salam sujud kembali, dengan membaca :
-         LA’ ILA HA ILLA ANTA, SUBKHANAKA INNI KUNTU MINADDOLIMIN 40kali
#    Selesai terus  meminta apa yang jadi khajatnya…………………………………...

Dikalau kita tertimpa musibah yang bertubi-tubi, coba’an, rintangan ataupun kesulitan, maka bacalah shalawat berikut ini :

-         ASSOLA TU WASSALAMU ALAIKA YA SAYYIDI YA ROSULULLAH KHUD BIYADI KHOLLAT KHILATI ADRIKNI. “rutin 100kali, kalau hari jum’at/malam jum’at  1000kali dengan sungguh-sungguh”

MENGHILANGKAN SUSAH

#  Entah itu susah berat atau ringan, maka banyak-banyak membaca :
-         LA ILA HA ILLA ANTA SUBHANAKA INNI KUNTU MINADDO LIMIN
tambah banyak membacanya, tambah hilang susahnya




SHOLAT DUKHA

USOLLISUNNATAT DUKHA’I ROK ATAINILILLAHITA’ALA
(Rokaat Pertama)
SETELAH FATIHAH MEMBACA   :  

-         ALAM NASROH LAKA SODROK, WAWADOKNA ANGKAWIZROK, ALLADI ANG KODODOHROK, WAROFAKNAA LAKADIKROK, FAINNAMA’AL ’USRI YUSRO, INNA MA’AL ‘USRI YUSRO, FAIDA FAROGTAFANGSOB, WAILA ROBBIKA FARGHOB.

(Rokaat Ke-2)
SETELAH FATIHAH MEMBACA   :  

-         WADDUHA WALLAILI IDA SAJA, MAAWADDA’AKA ROBBUKA WAMA QOLA, WALAL’ AA KHIROTU KHOIRUL LAKA MINAL UULA, WALA SAU FAYUK TIIKA ROBBUKA FATAR DOO, ALAM YAJID KAYATIIMANG FA’AWA, WAWAJADAKA DOOLLANG FAHADA,WAWAJADAKA AA ILANG FA’AGHNA, FA’AMMAL YATIIMA FALA TAKHAR, WA’AMMAS SAAILA FALA TANHAR, WA’AMMA BINI’
-          
-          MATIROBBIKA FAKHADDIS….

DO’A
-          ALLOHUMMA SOLLI’ALA SAYYIDINA MUHAMMAD, WA’ALA ALI SAYYIDINA MOHAMMAD .
-          ALLOHUMMA INNA DUKHA’A DUKHA UKA, WAL BAHAA BAHA UKA, WAL JAMALA JAMALUKA, WAL KUWWATA KUWWATUKA, WAL KUDROTA KUDROTUKA, WAL ISMATA ISMATUKA
-          ALLOHUMMA INGKANA RIZKI FIS SAMA’I FA’ANG JILHU, FAING KANA FIL ARDI FAAKHRIZHU, FAING KANA MU’ASSARO FAYASSIRHU, FAINGKANA BA’IDAN FAKORIPHU, FAINGKANA KHOLILAN FAKASIRHU, FAING KANA KHAROMAN FATOHHIRHU, BIL HAKKI DUKHA IKA WABAHA IKA WAJAMALIKA WAKUWWATIKA WAKUDROTIKA ATINI MAA ATAITA I BADIKASSOLIKHIN, WAL KHAMDULILLAHI ROBBIL AA LAIMIN.


Sabtu, 10 November 2012

MAKALAH STUDY QUR'AN


MUSYRIF KAMAL J. HAQ

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 
FAKULTAS TARBIYAH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG


CEKIDOOTT 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar belakang

Pengumpulan dan penyususnan Al-Qur’an dalam bentuk seperti saat ini, tidak ter, jadi dalam satu masa, tapi berlangsung selama beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan berbagai kelompok. Urutan , susunan dan jumlah ayat disetiap surah sudah dibakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Karenanya surah-surah di dalam Al-Qur’an harus dibaca sesuai dengan urutan yang telah di tetapkan.
Kebanyakan peneliti sejarah yang berbicara tentang masalah ini berdasarkan riwayat, berpendapat bahwa pengumpulan dan penerbitan surah-surah Al-Qur’an terjadi sepeninggalan Rasulullah SAW yang di prakarsai oleh AliBin Abi Thalib, kemudian Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat mulia lainnya.
Berdasarkan masalah di atas penulis menyusun makalah ini dengan di latar belakangi untuk berbagi pengetahuan kepada khalayk umum, mengenai Jam’ul Qur’an.

1.2. Rumusan masalah
  1. Bagaimana Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW?
  2. Bagaimana Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar?
  3. BagaimanaPengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman?
  4. Apa perbedaan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Usman?
  5. Berapa jumlah surat dalam Al-Qur’an?
  6. Berapa jumlah ayat-ayat, kata dan huruf dalam Al-Qur’an?




1.3.Tujuan
  1. Untuk mengetahui bagaimana Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW?
  2. Untuk mengetahui bagaimana Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar?
  3. Untuk mengetahui bagaimanaPengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman?
  4. Untuk mengetahui apa perbedaan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Usman?
  5. Untuk mengetahui berapa jumlah surat dalam Al-Qur’an?
  6. Untuk mengetahui berapa jumlah ayat-ayat, kata dan huruf dalam Al-Qur’an?
  7. Dan untuk berbagi pengetahuan kepada khalayak umum mengenai jam’ul Qur’an secara rinci.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad saw
Al-Qur’an dilumpulkan pada dua masa, masa Rasulullah saw dan masa Khulafaurrasidin. Masing-masing tahap pengumpulan ini mempunya keistimewaan tersendiri. Kata “Pengumpulan” kadang diartikan menghafal dan mengeluarkan dari dada para sahabat. Kadang pula diartikan penulisan atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun. Dan keduanya ini berlaku pada tahap pengumpulan di zaman Nabi sekaligus.[1]
Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an di masa Nabi Muhammad saw terbagi atas dua kategori yaitu :
1.      Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati dan mengamalkan.
2.      Pengumpulan dalam dokumen, dengan menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.

a.       Pengumpulan Al-Qur’an dalam Dada
Menghafal Al-Qur’an dalam dada kaum muslim dengan benar-benar menguasai seluruh ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an tersebut secara detail. Oleh karena itu, jika ada lafazh yang mengatakan “Juma’ul Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an)” maka lafazh tersebut bermakna “Hufazhul Qur’an (penghafal Qur’an). [2]
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang ummy (tidak bisa baca tulis). Karena itu, perhatian Nabi hanyalah untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menghafal dan menguasai Al-Qur’an sama persis sebagaimana Al-Qur’an diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada umatnya sejelas mungkin agar mereka dapat menghafal dan memahaminya. Hal ini karena Nabi di utus Allah di kalangan orang-orang yang ummy pula.
Firman Allah dalam Q.S. Al-Jumuah : 2
Artinya : “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dengan mengajarkan mereka kitab dan hikmah. “
Biasanya orang-orang ummy mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Pada masa diturunkannya Al-Qur’an bangsa Arab berada dalam martabat yang begitu tinggi dan sempurna daya ingatnya. Mereka sangat kuat dalam hafalannya serta daya pikirnya begitu terbuka. Bahkan mereka mampu menghafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab (keturunannya). Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepala dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali mereka yang tidak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut, tidak hafal “Almuallaqatul Asyar” yang begitu banyak syairnya dan lagi pula sulit dalam menghafalkannya.
Ketika Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan keluhuran kandunngan isinya, mereka merasa kagum. Akal mereka terkuasai oleh Al-Qur’an, sehingga seluruh perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur’an. Mereka menghafal ayat demi ayat dan surat demi surat dalam Al-Qur’an. Mereka meninggalkan syair-syair karena merasa memperoleh roh/jiwa dari Al-Qur’an. [3]
Rasulullah saw adalah orang pertama yang menghafal Al-Qur’an lafazh-lafazh dalam Al-Qur’andan sekaligus mengumpulkannya di dalam dada beliau. Kemudian hal itu diikuti kaum muslim lainnya dalam menghafal, mempelajari, dan merealisasikannya dalam kehidupan mereka. Jika ada orang yang baru memeluk Islam, maka akan diserahkan kepada salah seorang penghafal Al-Qur’an aagar orang tersebut diajarkan tentang isi kandungan Al-Qur’an.[4]
 Para sahabat berlomba-lomba dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Mereka mencurahkan segala kemampuannya untuk menguasai dan menghafal Al-Qur’an. Mereka mengajarkan kepada keluarganaya, istri, serta kepada anak-anaknya di rumah masing-masing sehingga apabila ada orang yang melewati rumah mereka diwaktu malam yang gelap gulita niscaya akan terdengar alunan Al-Qur’an bagaikan gema suara kumbang. [5]
Sejak dahulu kaum muslim generasi pertama selalu menghafal dan menjaga Al-Qur’an. Sehingga banyak di antara sahabat yang telah hafal Al-Qur’an. Hal ini karena Rasulullah saw telah membakar semangat mereka untuk menghafal Al-Qur’an serta mereka merasa betapa pentingnya Al-Qur’an bagi kehidupan sosial mereka dan juga merasa bahwa Al-Qur’an adalah titik poros bagi kehidupan kemanusiaan mereka.[6] Nabi Muhammad saw mengutus mereka yang ahli Al-Qur’an untuk memasuki seluruh pelosok kota dan kampung untuk meengajarkan dan membacakan Al-Qur’an kepada penduduknya, sebagaimana halnya sebelum hijrah. Beliau mengutus Musa bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum ke Madinah untuk mengajarkan Islam dan menngajarkan Al-Qur’an dan mengutus Muazd bin Jabal ke Makkah sesudah hijrah untuk menghafalkan dan mengajarkan Al-Qur’an. Itulah sebabnya para penghafal/tahfidzul Qur’an pada masa kehidupan Rasulullah tak terhitung jumlahnya.
Ciri khas umat Nabi saw adalah menghafalkan kitab suci Al-Qur’an dalam hati mereka. Dalam menukilnya, mereka berpedoman pada hati dan dada, tidak cukup hanya berdasarkan tulisan, dalam bentuk lembaran atau catatan. Berbeda halnya dengan ahli kitab, mereka tak seorangpun yang yang hafal akan Taurat atau injil. Dalam mengabdikannya, mereka hanya berpedoman dengan tulisan, mereka tidak membacanya dengan penuh seksama, kecuali hanya sekilas pandang dan tidak penuh dengan penghayatan. Karena itu masuklah unsur-unsur perubahan dan pergantian pada keduanya. Berbeda halnya dengan Al-Qur’an yang telah dipelihara oleh Allah swt. Karena Dia memberikan pertolongan kepada umat-Nya agar mendapat kemudahan dalam menghafalkannaya.
ولقد يسرنا القراء ن لللد كر فهل من مد كر
Arti : “dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang memberi pelajaran ? ” ( QS. Al-Qomar : 17)
Allah menjaganya dari perubahan dan penyelewengan dengan dua cara, yaitu penjagaan dalam bentuk tulisan dan dalam bentuk hafalan dan hati, sesuai dengan firman-Nya :

Arti : “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. “ ( QS. Al-Hijr : 9)
Tidak diragukan lagi, hal tersebut merupakan suatu perrtolongan Allah khusus untuk Al-Qur’an serta merupakan suatu prioritaas dan keistimewaan yang luar biasa kepada umat Muhammad. Ia menurunkan suatu kitab yang tak hancur terendam air.  [7]
b.      Pengumpulan dalam Bentuk Tulisan
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur’an ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Maksudnya adalah penulisan dan pencatatan Al-Qur’an dalam lembaran-lembaran secara sempurna. Bahwasanya kepermanenan teks Al-Qur’an telah sempurna penulisannya pada zaman Nabi. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa pengumpulan Al-qur’an yang sempurna terjadi pada masa kehidupan Syaykhayn (Abu Bakar dan Umar). Tetapi kedua pendapat yang berbeda itu mungkin bisa dipersatukan dengan cara memberikan pernyataan bahwa pertama kali proses pengumpulan Al-Qur’an telah sempurna pada masa Nabi saw tetapi pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf yang tersusun rapi dalam setiap lembarannya, baru sempurna pada masa Syaykhayn. [8]
v  Cara-cara Penulisan Al-Qur’an
Rasulullah saw memiliki beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap ayat turun Al-Qur’an, beliau memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dalam rangka memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhdap kitab Allah swt, seingga penulisan tersebut dapat memudahkan haaflan dan memperkuat daya ingat. Para penulis wahyu tersebut adaah sahabat pilihan Nabi dari kalangan sahabat yang terbaik dan indah tulisannya sehingga mereka benar-benar dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin jabal, Muawiyah binAbi Sofyan, Khulafaur Rasyidin, dan sahabat-sahabat yang lain.
Selain mereka yang terkenal sebagai sekretaris wahyu, masih banyak lagi sahabat yang menulis Al-Qur’an. Banyak di antara mereka memiliki mushaf pribadi yang ditulisnya sesuai yang didengar atau yang hfalan yang diterima dari Rasul, seperti mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali, mushaf Aisyah, dan lain-lain.
Adapun cara mereka menulis Al-Qura’an adalah menggunakan pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang, dan sebagainya. Hal ini karena belum ada pabrik kertas dikalangan orang Arab. Pada saat itu pabrik kertas hanya ada di Persi dan Romawi. Itupun masih sangat kurang dan tidak disebarkan. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a bahwa ia berkata, “Kami menulis Al-Qur’an di hadapan Nabi pada kulit ternak.“ Maksudnya adalah mengumpulkannya agar sesuai dengan petunjuk Nabi saw dan menurut perintah Allah. Para ulama sepakat bahwa pengumpulan Al-Qur’an adalah taufiqi (menurut ketentuan) artinya susunannya sebagaimana ynag kita lihat sekarang ini. Telah disebutkan bahwa Jibril as bila membawakan sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi, ia mengatakan, “Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya pada urutan kesekian surat...” demikian pula halnya Rasul memerintahkan para sahabat, “ Letakkanlah pada urutan ini. “[9]
B.      Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
Rasulullah saw berpulang ke rahmatullah setelah beliau selesai menyampaikan risalah dan amanat serta memberi petunjuk kepada umatnya untuk menjalankan agama yang lurus. Setelah beliau wafat, kekhalifahan dipegang oleh Abu Bakar r.a. pada masa pemerintahannya, ia banyak menghadapi malapetaka, berbagai kesulitan dan problem yang rumit, di antaranya memerangi orang-orang yang murtad yang ada dikalangan orang Islam serta memerangi pengikut Musailamah Al-Kadzdzab.
Pada perang Yamamah banyak kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an dan ahli bacanya yang gugur. Jumlahnya lebih dari 70 orang huffaz ternama. Karena itu Umar bin Khattab menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sadih dan sakit, dia bermusyawarah supaya mengumpulkan Al-Qur’an karena dikhawatirkan Al-Qur’an akan lenyap dengan banyaknya huffaz yang gugur. Awalnya Abu Bakar ragu namun setelah dijelaskan sisi positifnya akhirnya dia menerima usul Umar. Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkannya dalam satu mushaf. [10]
Al-Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya tentag kisah pengumpulan Al-Qur’an ini.
“Dari Zaid bin Tsabit r.a bahwa ia berkata, “Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, yang di antaranya adalah 70 orang penghafal Al-Qur’an. Pada saat itu Umar berada disamping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan, “Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan, ‘sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak merenggut nyawa para penghafal Al-Qur’an. Aku khawatir gugurnya para penghafal Al-qur’an akan menghilangkan Al-Qur’an yang telah terkumpul di dada mereka. Aku berpendapat agar Engkau memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an. ‘ Aku (Abu Bakar) menjawab, ‘Bagaimana aku melakukan suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul saw ?’ Umar r.a menjawab, ‘Demi Allah, perbuatan tersebut adalah baik. ‘Ia berulangkali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Umar. Dalam hal ini aku sependapat dengan Umar. Kemudian, Abu Bakar berkata kepada Zaid, “Engkau adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak meragukan kemampuanmu. Engkau adalah penulis wahyu dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, telitilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.....! “Zaid menjawab, “Demi Allah andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung, tidaklah akan berat bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebeankan kepadaku ini...”Aku mengatakan, “Bagaimana Anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw ? “Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, hal ini adalah baik. “Dan ia mengulanginya berulang kali sampaiaku dilapangkan dada oleh Allah sebagaimana Ia telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar. Selanjutnya aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur’an dari kepingan batu, pelepah kurma, dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah dari Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak terdapat pada yang lainnya yaitu ayat 128-129. “[11]
                        Lembaran-lembaran tersebut disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat. Kemudian (diserahkan) kepada Umar sampai ia wafat dan kemudian disimpan di rumah Hafsah binti Umar.[12]
C.    Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dan Usman
Menurut Ibnu Tin :
1.      Pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian Al-Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu Al-Qur’an belum terkumpul pada satu tempat.
2.      Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah kepada mereka.
3.      Pengumpulan Utsman disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal qira’at.
4.      Utsman menyalin lembaran-lembaran itu kedalam satu mushaf dengan menertibkan/menyusun surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka, sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain Quraisy guna menghindari kesulitan.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Utsman ke berbagai daerah :
a.       Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Makkah, Syam, Basrah, Kufah, Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: “ Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: “ telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah. “
b.      Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah, masing-masing dikirimkan ke Irak, Syam, Mesir dan mushaf Imam; atau dikirimkan ke Kufah, Basrah, Syam dan mushaf imam. Berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-muqni: “ sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Utsman menulis mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah, Basrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
c.       Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.
Tidak ada kitab yang memiliki akurasi dan kemutawatiran periwayatan sedemikian meyakinkan dan cermat, melebihi periwayatan Al-Qur’an Al-Karim. Yang demikian itu disebabkan karena tidak akan ada lagi nabi sesudah Muhammad SAW. , dan tidak ada pula syariat baru sesudah islam, disamping karena janji Allah SWT yang menegaskan dalam firmannya surat Al-Hijr ayat 9 yang artinya ” Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya “(QS.Al-Hijr : 9).[13]

D.    Pengumpulan Al-Quran pada masa usman
Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbaijin dari penduduk Irak, termasuk Hudzaifah bin Al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan, masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan puncaknya mereka saling mengafirkan. Melihat kenyataan demikian, Hudzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan-bacaan baku pada satu huruf.
Utsman kemudian mengirim utusan kepada hafshah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya), dan Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari, Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam (Tiga orang Qurasy). Lalu ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, jika ada perbedaan anatara Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraisy karena Al-Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafshah. Selanjutnya Utsman mengirimkan mushaf baru tersebut ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an atau mushaf lainnya dibakar.[14]
Apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Al-Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qira’at. Utsman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafshah. Lalu, dia kirimkan pula ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahannya satu mushaf di Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama “ Mushaf Imam. “ Penamaan mushaf imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu dimana ia mengatakan, “ Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Al-Qur’an sebagai pedoman).” Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lembaran atau mushaf yang selain itu. Keputusan ini tidak salah, sebab qira’at dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qira’at dengan tujuh huruf semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qira’at dengan tujuh huruf itu termasuk dalam kategori keringanan. Yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir.

E.     Jumlah surat dalam Al-Qur’an
Jumlah surat dalam Al-Qur’an adalah 114 berdasarkan ijmak (konsensusa) para ulama. Ada yang mengatakan bahwa jumlah surat-suratnya adalah 113 surat, yaitu dengan menjadikan surat Al-Anfal dan Bara’ah menjadi satu surat.
Abu asy-Syekh mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Rauq, ia berkata,” Al-Anfal dan Bara’ah merupakan satu surat.” Abu asy-Syekh juga mengeluarkan sebuah riwayat dari Abu Raja’, ia berkata,” Aku pernah bertanya kepada Hasan tentang surat Al-Anfal dan Bara’ah, apakah itu dua surat atau satu surat? Ia berkata,’ Itu dua surat.’ Telah dinukil seperti perkataan Abu Rauq, dari Mujahid, dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari sufyan.[15]
Didalam Mushaf Ibnu Mas’ud terdapat 112 surat, karena tidak ditulis di dalamnya al-Mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas), dan di dalam Mushaf Ubay terdapat 116 surat, karena ia menulis di akhir mushaf itu dua surat lagi, yaitu surat “al-Hafdu” dan surat “al-Khulu”.
Abu Ubaid mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Sirin, ia berkata,” Ubay bin Ka’ab menulis di dalam Mushafnya : Fatihul Kitab, al-Mu’awwadzatain, Allahumma nasta’iinuka, dan Allahumma iyyaaka na’budu. Daan Ibnu Mas’ud meninggalkan itu semua, sedangkan Utsman menulis dari itu semua Faatihatul Kitab dan Mu’awwidzatain. Dan masih banyak lagi riwayat dari para ulama-ulama lainnya.
Disebutkan dalam suatu pendapat bahwa hikmah dari menjadikan Al-Qur’an dalam berbagai surat adalah unutuk menunjukkan adanya surat itu sendiri sebagai mukjizat dan sebagai salah satu ayat dari ayat-ayat kekuasaan Allah, juga sebagai isyarat bahwa sesungguhnya setiap surat itu memiliki keistimewaan tersendiri. Sebagai contoh surat Yusuf itu menerjemahkan tentang kisahnya, demikian juga surat lainnya. Surat-surat ada yang panjang, sedang, dan ada yang pendek, untuk meningkatkan bahwa panjangnya surat itu tidak menjadi syarat I’jaz. Misalnya Surat al-Kautsar itu terdiri dari tiga ayat, sesungguhnya ia mukjizat seperti kemukjizatan surat al-Baqarah. Disanalah pula tampak hikmah dalam pengajaran anak-anak secara bertahap dari mulai surat-surat pendek hingga surat-surat diatasnya, sebagai kemudahan dari Allah untuk hamba-hamba-Nya agar Kitab-Nya mudah dihafal.(272)[16]

F.     Jumlah ayat-ayat, kata-kata dan huruf dalam Al-Qur’an
 Sebagian ulama qurra menyusun kitab secara khusus tentang masalah tersebut. Imam al-Ja’bari mengatakan, “ definisi ayat adalah Qur’an yang terangkai dari brbagai jumlah (ungkapan), walaupun secara taqdiriyyan (perkiraan), dan memiliki permulaan atau penggalan yang masuk didalam surat. Asal dari al-aayat adalah al-alaamat yang berarti tanda, seperti firman Allah SWT, “ Inna aayata mulkihii,” (QS. Al-Baqarah 248), karena ia merupakan tanda untuk kemuliaan dan kejujuran, atau berarti al-Jamaa’ah, karena ayat itu adalah jamaah  (kumpulan) dari kalimat (kata).
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat adalah tha’ifatun minal qur’an, munqathi’atun ‘amma qablahaa wa maa ba’dahaa ( salah satu bagian dari Al-Qur’an yang terpisah dari sebelumnya dan sesuatu setelahnya).[17] Da juga yang mengatakan bahwa ayat adalah al-Waahidatu minal ma’duudaat fis suwari (satuan dari rangkaian kata yang di hitung dalam surat-surat). Dikatakan demikian karena ia merupakan indikator (tanda) atas kebenaran orang yang membawanya (Rasul SAW). Dan tanda atas kelemahan orang-orang yang menentangnya. Sebagian pendapat mengatakan, “Dikatakan ayat karena ia menjadi tanda atas terputusnya sesuatu yang sebelumnya berupa kalam dan terputusnya sesuatu dari yang setelahnya.”
Imam al-Wahdi mengatakan,”Sebagian ulama kita memperbolehkan untuk menamakan ungkapan Al-Qur’an yang kurang dari satu ayat sebagai ayat, seandinya tidak ada taufiq (ketentuan dari Allah) seperti yang ada sekarang.” Sedangkan Abu ‘Amr ad-Daani mengatakan, “ Sepengetahuan saya, tidak ada ayat yang terdiri dari satu kata (kalimat) selain firman Allah SWT:’Mudhaammataan’ (QS. Ar-Rahman 64)
Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat yang shahih adalah ayat itu dapat diketahui berdasarkan taufiq(ketentuan) dari Asy-Syari’ (Allah SWT), seperti mengetahui surat. Dengan demikian, ayat adalah sekelompok dari huruf-huruf Al-Qur’an yang bersifat taufiq dan yang terpisah dari kalam yang terletak setelahnya di awal Al-Qur’an dan terpisah pula dari kalam yang terletak sebelumnya di akhir Al-Qur’an, serta terpisah dari sesuatu yang gterletak sebelumnya dan setelahnya dari selain keduanya, yang tidak mengandung seperti hal tersebut. Dengan pembahasan seperti ini maka surat tidak termasuk di dalamnya.[18]
Ibnu adh-Dhurais mengeluarkan sebuah riwayat, dari jalan periwayatan Utsman bin ‘Atha’, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, ia berkata, “seluruh ayat Al-Qur’an itu berjumlah 6600 ayat dan seluruh hurufnya berjumlah 323.671.” Sedangkan Imam ad-Daani mengatakan, “Mereka para uama bersepakat bahwa junlah ayat-ayat Al-Qur’an itu 6000 ayat, kemudian mereka berbeda pendapat tentang jumlah selebihnya. Sebagian ada yang tidak menambah dan sebagian mereka ada yang mengatakan 204 ayat.” Ada yang mengatakan 14 ayat, dan ada lagi yang mengatakan 19 ayat, dan ada yang mengatakan 25 ayat, dan ada juga yang mengatakan 36 ayat. Dan ada ulama lain mengatakan, aku (Imam Suyuthi) berpendapat: Imam ad-Dailami mengeluarkan sebuah riwayat didalam Musnad Al-Firdaus dari jalan periwayatan Al-Faid bin Watsiq, dari Furat bin Salman, dari Maimun bin Mihran, dari Ibnu Abbas(marfu’);” Tangga disurga itu sebanyak ayat-ayat Al-Qur’an yang setiap ayat itu sama dengan satu tangga. Itulah 6216 ayat. Diantara setiap dua tangga jaraknya antara langit dan bumi. Al-Faidh, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ma’in adalah kazzab (pembohong) dan khabits (buruk).
Al-Mushili juga mengatakan,”Kemudian surat-surat Al-Qur’an itu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, bagian yang tidak diprselisihkan tidah bersifat ijmal (global) dan tidak pula bersifat tafshil (terperinci). Kedua, bagian yang diperselisihkan secara tafshil (terperinci), tidak yang ijmal. Ketiga, bagian yang diperselisihkan secara ijmal maupun secara tafshil.”[19]


G.     Terbitnya ayat dan surat
a.       Tertib Ayat
Al-Qur’an terdiri atas surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Adapun ayat, ia adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam surat-surat Al-Qur’an. Sedangkan surat adalah sejumlah ayat Al-Qur’an yang mempunayai permulaan dan kesudahan. Penempatan secara tertib urutan ayat-ayat Al-Qur’an ini adalah bersifat tauqifi ,  berdasarkan ketentuan dari Rasulullah SAW. Menurut sebagian ulama, pendapat ini merupakan ijma’.[20]
Az-Zakasyi dalam Al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabah-nya, mengatakan, “Tertib ayat-ayat di dalam surat-surat itu berdasarkan taufiqi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa di perselisihkan kaum muslimin.”As-Suyuthi memastikan hal itu, katanya, “Ijma’ dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalh taufiqi, tanpa diragukan lagi. “Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya dimana ayat-ayat itu harus di letakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan pada penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda kepada mereka, “Letakkan ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya di sebutkan begini dan begini, atau letakkan ayat ini pada anu.” Susuan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.
Utsman bin Abi Al-‘Ash berkata, “Akun tengah duduk disamping Rasulullah SAW, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya; Jibril telah dating kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surat ini, sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta bersedekah kepada kaum kerabat,” (An-Nahl:90)
Ketika pengumpulan Al-Qur’an, Utsman selalu berada di tempat setiap kali suatu ayat atau surat akan diletakkan didalam mushaf, sekalipun ayat itu mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan, penulisan ayat dengan tertib seperti itu adalah tauqifi.
Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surat-surat tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika susunannya diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits tertentu.
Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda’ dalam hadits marfu’,
“Barang siapa yang hafal sepuluh ayat dari awal surat Al-Kahfi, Allah akan melindunginnya dari Dajjal.”
Dalam redaksi lain dikatakan, “Barang siapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Al-Kahfi….”
Juga terdapat hadits-hadits lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya. Umar nerkata, “Aku tidak menanyakan kepada nabi tentang sesuatu lebih banyak dari yang aku tanyakan kepada beliau tentang kalalah(orang yang meninggal, tetapi tidak mempunyai anak dan orang tua), sampai nabi menekankan jarinya ke dadaku dan mengatakan, “ tidak cukuplah bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat di akhir surat An-Nisa’?”
Disamping itu, banyak juga riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membaca sejumlah surat dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau dalam khutbah jum’at, seperti aurat Al-Baqarah, Ali Imran dan An-Nisa’, juga diriwayatkan secara shahih, bahwa Rasulullah membaca Al-A’raf dalam shalat maghrib. Beliau juga membaca surat Alif Lam Mim Tnzil (As-Sajdah) dan Hal ata’alalinsan (Ad-Dahr)dalam shalat subuh di hari jum’at. Beliau pun membaca surat Qaf pada waktu khutbah; surat Al-Jumu’ah dan surat Al-Munafiqun dalam shalat jum’at.[21]
Jibril senantiasa mengujukan Al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah setiap tahun sekali  pada bulan ramadhan, dan pada tahun terahkir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa diraguakan lagi. Komentar As-Suyuthi, setelah menyebutkan hadits-hadits berkenan dengan surat-surat tertentu, “Pembacaan surat-surat yang dilakukan Nabi di hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayat Al-Qur’an adalah tauqifi. Para sahabat tidak akn menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka dengar dari Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.”

b.      Tertib Surat
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur’an yang ada sekarang.
1.    Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagimana diberitahukan malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikian, Al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada ditangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabat menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma’ susunan surat yang ada, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Kelompok ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surat secara tertib dalam shalatnya. Ibnu Abi syaibah meriwayatkan, bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat mufashshal ( surat-surat pendek) dalam satu rakaat. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud katanya, “surat Bani Israil, Al-Kahfi, Maryam, Thaha dan Al-Abiya’ termasuk yang diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia menyebutkan surat-surat itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Juga Ibnu Wahab meriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata; Aku mendengar Rabi’ah ditanya orang, “ Mengapa surat A-Baqarah dan Ali Imran di dahulukan, padahalsebelum surat itu diturunkan sudah ada delapan puluh sekian surat Makiyyah, sedang keduanya diturunkan di Madinah?” Ia menjawab, “Kedua surat itu memang di dahulukan dan Al-Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya. “Kemudian katanya, “Ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu ditanyakan.”
Ibnu Hashshar mengatakan. “Tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya masing-masing itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan, “Letakkan ayat ini di tempat ini.” Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang mutawatir yang tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan waktu menyusunnya seperti ini dalam mushaf.”
2.      Kelompok kedua terdapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Al-Mudatsir, lalu Nun, Al-Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makiyyah dan Madaniyah.

Adapun dalam mushaf Ibnu Mas’ud, yang pertama ditulis adalah surat Al-Baqara, kemdian An-Nisa’, lalu disusul Ali Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay, yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqaraa, An-Nisa’, lalu Ali-Imran.

Ibnu Abbas menceritakan, “Aku bertanya pada Utsman; Apakah yang mendorongmu mengambil Al-Anfal yang termasuk kategori surat al-matsani dan Bara’ah yang termasuk mi’in untuk anda hubungkan menjadi satu tanpa anda tuliskan bismillahir rahmanir rahim diantara keduanya, anda juga meletakkannya pada as-sab’u ath-thiwal (Tujuh surat panjang)? Utsman menjawab; Telah turun kepada Rasulullah surat-surat yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada yang turun kepadanya,ia panggil beberapa orang penulis wahyu, lalu mengintruksikan, ‘Letakkanlah ayat ini pada pada surat yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu’. Surat Al-Anfal termasuk surat pertama yang turun di Madinahsedangkan surat Bara’ah terakhir di turunkan. Kisah dalam surat Al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat Bara’ah, sehingga aku mengira sirat Bara’ah adalah bagian dari surat Al-Anfal. Tetapi nyatanya sampai Rasulullah wafat tidak pernah menjelaskankepada kami bahwa surat Bara’ah merupakan bagian dari surat Al-Anfal. Oleh karena itu, kedua surat tersebut aku gabungkandan di antara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim. Akun juga meletakkan pada as-sab’u ath-thiwal.”

3.      Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa Nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’u ath-thiwal, al-hawamim dan al-mufashal pada masa hidup Rasulullah.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Bacalah olehm dua surat yang bercahaya; Al-Baqarah dan Ali-Imran.”

Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita pendapat kedua, yang menyatakan tertib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab ijtihad para sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar merek sebelum Al-Qur’an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Utsman Al-Qu’an dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan suratnya pada satu dialek, umatpun sepakat, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijihad, tentu mereka berpegang pada mushafnya masing-masing.

Mengenai hadits tentang surat Al-Anfal dan At-Taubah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat tidak terlepas dari jalur Yazid Al-Farisi yang oleh Al-Bukhari dikategorikan dalam kelompok dhu’afah (perawi yabg lemah).[22] Disamping itu, di dalam hadits ini pun mengndung keraguan mengenai penempatan basmalah pada permulaan surat, yang mengesankan seakan-akan Utsman-lah yang menempatkan basmalah dan menindakannya menurut   pendapat sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya dalam hadits tersebut pada musnad Imam Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menyebutkan. “Hadits ini tak ada asal mulanya.” Paling jauh hadits itu hanya menunjukkan ketidaktertiban kedua surat tersebut.

Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihad; Dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yng menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihad tidak bersandar pada dalilyang menunjukkan tertib ijtihad. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti yang selain itu adalah hasil ijtihad. Di samping itu, yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tertib surat-surat itu bersifat tauqifi, seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar Al-Anbari menyebutkan, “Allah telah menurunkan Al-Qur’an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuaj surat turun Karena ada suatu masalah yang terjadi, ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya. Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi di mana surat dan ayat tersebut harus di tempatkan. Dengan demikian susunan surat-surat,seperti halnya susunsn ayat-ayat dan huruf-huruf Al-Qur’an seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barang siapa mendahulukan sesuatu surat atau mengakhirkannya, berarti ia telah merusak tatanan Al-Qur’an.


H.    Surat-surat Dan Ayat-Ayat Al-Qu’an

Surat-surat Al-Qur’an itu ada empat bagian: 1) Ath-Thiwal 2) Al-Mi’un, 3) Al-Matsani, dan 4) Al-Mufashal. Berikut ini kita kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
1)      At-Thiwal ada tujuh surat, yaiti Al-Baqarah, Ali Imran,  An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am Al-A’raf dan yang ketujuh ada yang mengatakan Al-Anfal dan Al-Bara’ah, juga termasuk karena tidak dipisahkan dengan basmalah diantara keduanya. Ada pula yang berpendapat bahwa yang ketujuh adalah surat Yasin.
2)      Al-Mi’un yaitu; surat-surat yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3)      Al-Matsani, yaitu surat-surat yang jumlah ayatnya di bawah al-mi’un. Dinamakan al-matsani, karena surat-surat itu di ulang-ulang bacanya lebih banyak dari ath-thiwal dan al-mi’un.
4)      Al-Mufasahahal, dikatakan bahwa surat-surat ini dimulai dari surat Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surat Al-Hujarat, juga adapula yang mengatakan dimulai dari surat lain. Mufashalah dibagi menjadi tiga; Thiwal, ausath, dan qishar. Thiwal dimulain dari surat Qaf atau Al-Hujarat sampai dengan ‘Amma atau Al-Buruj. Ausath dimulai dari surat ‘Amma atau Al-Buruj sampai dengan Adh-dhuha atau Lam Yakun sampai dengan surat qishar dimulai dari Ad-Dhuha dan Lam Yakun sampai dengan surat Al-Qur’an yang terakhir.










BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Pengumpulan Al Qur’an di bagi menjadi 2 macam
a.         Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati dan mengamalkan.
b.         Pengumpulan dalam dokumen, dengan menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.
2.    Dan  adapun cara mereka menulis Al-Qura’an adalah menggunakan pelepah-pelepah kurma, kepingan batu, kulit/daun kayu, tulang binatang, dan sebagainya.
3. Perbedaan pengumpulan Al-Qur’an antara Abu Bakar dan Usman
 a.        Pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya sebagian Al-Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu Al-Qur’an belum terkumpul pada satu tempat.
b.   Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah kepada mereka.
c.   Pengumpulan Utsman disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal qira’at.
d.   Utsman menyalin lembaran-lembaran itu kedalam satu mushaf dengan menertibkan/menyusun surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy saja dengan alasan bahwa Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka, sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain Quraisy guna menghindari kesulitan.
4. Banyak sekali pendapat-pendapat yang berbeda-beda mengenai jumlah surat, ayat  dan huruf Al-Qur’an. Ada yang mengatakan 113 surat, 112, 116 dan ada yang 115 surat, Sedangkan menurut Ibnu adh-Dhurais mengatakan bahwa seluruh ayat Al-Qur’an 6000 ayat dan seluruh hurufnya 323.671.































DAFTAR PUSTAKA


Suyuthi Imam. 2008. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Surakarta: Indiva Pustaka.
Syekh MannaAl-Qaththan. 2004. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah.
Moh. Ali Ash-Shahuniy. 1998.  Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
M. Hasbi Asy-Shiddieqy. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang
















[1] Moh. Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Pustaka Amani, Jakarta, 2001, hlm. 73
[2] Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Al-Huda, 2006, hlm. 166
[3] Moh. Ali Ash-Shahuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm.93-94
[4] Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Al-Huda, Jakarta, 2006, hlm. 167
[5] Moh. Ali Ash-Shahuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm. 95
[6] Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Al-Huda, Jakarta, 2006, hlm. 146
[7] Moh. Ali Ash-Shahuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm. 96-98
[8] Baqir Hakim, Ulumul Qur’an, Al-Huda, Jakarta, 2006, hlm. 168
[9] Moh. Ali Ash-Shahuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm. 99
[10] Moh. Ali Ash-Shahuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm. 100
[11] M. Hasbi Asy-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1954, hlm. 85
[12] Moh. Ali Ash-Shahuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm. 102
[14] Mudzakir AS, studi ilmu-ilmu Qur’an, halim jaya, Jakarta, 2009, hal 544
[15] Imam Suyuthi, Studi Al-Qur’an komprehensif, Indiva Pustaka, Surakarta, 2008, hal.269
[16] Imam Suyuthi, Studi Al-Qur’an komprehensif, Indiva Pustaka, Surakarta, 2008, hal.272
[17] Imam Suyuthi, Studi Al-Qur’an komprehensif, Indiva Pustaka, Surakarta, 2008, hal.274

[18] Imam Suyuthi, Studi Al-Qur’an komprehensif, Indiva Pustaka, Surakarta, 2008, hal.275


[19] Imam Suyuthi, Studi Al-Qur’an komprehensif, Indiva Pustaka, Surakarta, 2008, hal.277


[20] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Cairo, 2004.
[21] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Cairo, 2004.

[22] Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Cairo, 2004.